Flag Counter

Friday, December 21, 2012

World becomes less generous amid ‘double dip’ in giving – says new World Giving Index

A global view of giving trends


19 December 2012

The world became a less generous place last year – according to a new report. And, in a previously unrevealed trend, giving worldwide appears to be mirroring global economic patterns.
The sharp decline in global generosity in 2011 has led to what is being termed as a ‘double dip’ in giving.
The findings are revealed today by the Charities Aid Foundation (CAF) in its annual World Giving Index, which is the most comprehensive report on charitable behaviour in the world.
According to the report, the proportion of people giving money to good causes, volunteering or helping a stranger all fell last year and were also down on 2007.
CAF, which is an international charity that promotes charitable giving and provides financial services and social finance to not-for-profit organisations, compiled the report using statistics produced by international polling company Gallup, who spoke to more than 155,000 people in 146 countries.
The report found that the average proportion of people across 146 countries donating money in the past month to charity fell from 29.8% in 2007 to 28% in 2011.
The percentage of people helping strangers in the past month was 45.1% in 2011 – down from 47.0% in 2007, while the proportion volunteering their time was down from 21.4% in 2007 to 18.4% in 2011.
Analysis of global giving over the past five years shows giving dropped in 2009, the year after the 2008 financial crisis, recovered in 2010, and then fell sharply again in 2011.
Overall the index, found that Australia was the most generous country on earth, followed in second place by Ireland. Canada was the third most charitable nation,  New Zealand the fourth, and the United States the fifth.
The five next most generous countries were the Netherlands, Indonesia, the UK, Paraguay and Denmark respectively.
The two countries jointly at the bottom of the index were Greece and Montenegro.
Around the world, more women donated money than men in 2011, but men were more likely to volunteer time and help a stranger.
The report also indicates that there is a generational gap in giving worldwide.
Over the past five years, 16-24 year olds have been as much as 10 percentage points less likely than the over 50s to donate money.
On the three key indicators of giving money, giving time and helping a stranger, the report found that in 2011:

Giving Money

  • India was the country with the largest number of people donating money, with 165m people giving money in the last month. The United States was second with 143m followed by Indonesia (126.2m) China (109m) and Thailand (39m).
  • Ireland was the country with the biggest proportion of people giving money, with 79% of people donating money in the past month. Australia was ranked second (76%) followed by the Netherlands (73%) the UK (72%) and Indonesia (71%).

Giving Time

  • The United States was the country with the largest number of people volunteering time, with 105m volunteers, followed by India (87m) Indonesia (72.8m) China (44m) and the Philippines (27m).
  • Turkmenistan topped the list of countries with the highest proportion of people giving time (58%) followed by Liberia (53%) Uzbekistan (46%) Tajikistan (45%) and the Philippines (44%).

Helping a stranger

  • Liberia had the largest proportion of people who helped a stranger in the past month (81%) followed by Oman (72%) Qatar (71%) Sierra Leone (71%) and the United States (71%).
  • China had the largest number of people who helped a stranger in the past month (283m) followed by the United States (178m) India (165m) Indonesia (76m) and Brazil (65m).
John Low, Chief Executive of the Charities Aid Foundation, said: “This report shows that giving is susceptible to fragility in world economic conditions. It shows a notable drop in giving despite of growth in global GDP.
“In large parts of the world, household incomes are being squeezed, prices are rising and job insecurity is on the increase, with the result that many simply less have time and money to spare.
“As our report shows, trends in worldwide giving appear to mirror those in the global economy and we are now experiencing a double dip in giving.”
He added: “It is truly humbling that hundreds of millions of people around the world donate their time, money and help strangers. But our report lays bare how our global generosity is reflects the economic backdrop.
“With the worrying decline in giving and support for charity, it is critical that politicians, businesses and people across the world take action to support charities and those who depend on their vital work.”

The top 20 countries in the World Giving Index

Country World Giving Index ranking Last year's World Giving Index ranking World Giving Index score (%) Donating money (%) Volunteer
time (%)
Help a stranger (%)
Australia 1 3 60 76 37 67
Ireland 2 2 60 79 34 66
Canada 3 7 58 64 42 67
New Zealand 4 4 57 66 38 68
United States of America 5 1 57 57 42 71
Netherlands 6 6 53 73 34 51
Indonesia 7 37 52 71 41 43
United Kingdom 8 5 51 72 26 56
Paraguay 9 30 50 48 42 61
Denmark 10 13 49 70 23 54
Liberia 11 12 49 12 53 81
Iran 12 ns 48 51 24 70
Turkmenistan 13 ns 48 30 58 56
Qatar 14 14 47 53 17 71
Sri Lanka 15 8 47 42 43 55
Trinidad and Tobago 16 ns 45 44 30 62
Finland 17 16 45 50 27 57
Philippines 18 23 45 32 44 58
Hong Kong 19 10 44 64 13 56
Oman 20 ns 44 39 22 72

Notes:
  • Only includes countries surveyed in 2011               
  • Data relates to participation in giving behaviours during one month prior to interview       
  • World Giving Index scores are shown to the nearest whole number but the rankings are determined using two decimal points
  • ns = not surveyed

KNKT tidak Temukan Kerusakan Sistem Pesawat Sukhoi SJ100

JAKARTA--MICOM: Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) tidak menemukan adanya indikasi kerusakan pada sistem pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, Jawa Barat, 9 Mei 2012 lalu.

KNKT mengetahui hal tersebut setelah berhasil mengunduh seluruh data dari black box yang ditemukan.

"Seluruh parameter berhasil di-download dan dari hasilnya, tidak ada indikasi kerusakan sistem pesawat selama penerbangan," kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi dalam jumpa pers mengenai hasil investigasi akhir kecelakaan pesawat Sukhoi SJ 100, di Jakarta, Selasa (18/12).

Tatang juga menjelaskan, pengunduhan dan pembacaan data melibatkan pihak dari Rusia selaku produsen pesawat Sukhoi. "Ini disaksikan ahli dari Rusia," kata Tatang.

Ia juga menjelaskan alasan pilot Sukhoi SJ 100 Alexandr Yablontsev menurunkan ketinggian dari 10 ribu kaki menjadi 6 ribu kaki dan membuat orbit (lintasan melingkar) ke kanan.

Menurut Tatang, Alexandr melakukan hal itu agar pendaratan di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, lebih mulus.

"Tujuan pilot untuk turun ke 6.000 kaki dan membuat orbit agar pesawat tidak terlalu tinggi untuk proses pendaratan di Halim Perdanakusumah di landasan 06," kata Tatang.

Perubahan ketinggian yang diminta pilot Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov disetujui oleh petugas pengatur lalu lintas pesawat. Namun sayangnya, setelah menurunkan ketinggian, Sukhoi SJ 100 menabrak tebing dan menghilang dari radar.

Pesawat itu mengalami kecelakaan pada joy flight kedua dalam penerbangan menuju Pelabuhan Ratu. Pesawat hanya mengudara selama 40 menit sebelum hilang kontak.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Yurievich Galuzin dalam kesempatan yang sama berharap musibah kecelakaan yang menimpa pesawat Sukhoi SJ 100 tidak terulang lagi.

"Saya menyampaikan duka cita mendalam pada korban, baik warga negara Indonesia, Amerika, maupun Prancis yang berada dalam pesawat itu. Mari kita kenang orang-orang yang telah tewas, dan semoga musibah serupa tidak terulang kembali," kata Galuzin.

Mikhail mengatakan laporan investigasi KNKT cukup memuaskan dan seimbang. "Investigasi dilakukan sesuai standar-standar ICAO (International Civil Aviation Organization)," kata Galuzin.

Kecelakaan pesawat komersil Sukhoi yang sedang melakukan joy flight menewaskan seluruh kru dan penumpang yang berjumlah 45 orang.

Kerusakan ATC, SBY: Bagi yang Lalai Harus Disanksi

BANTEN--MICOM: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta dilakukan investigasi menyeluruh terhadap insiden terganggunya radar di Bandara Soekarno Hatta akibat terhentinya pasokan listrik dari "Uniterruptible Power Supply" (UPS).

"Saya menganggap bahwa ini tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang
biasa saja. Harus ada investigasi menyeluruh," kata Presiden Yudhoyono dalam konferensi persnya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, setibanya dari melakukan kunjungan kerja ke Malaysia dan India, Jumat (21/12).

Ia mengatakan bahwa jika dalam penyelidikan tersebut nantinya diketahui ada pihak-pihak yang lalai maka hendaknya diberikan sanksi.

"Bagi yang lalai dan melakukan kesalahan harus diberikan sanksi,"
katanya.

Presiden menilai kejadian tersebut bisa diantisipasi jika memang ada instrumen pendukung yang diperlukan.

"Jika ada instrumen yang diperlukan, mari kita adakan. Tidak sulit
untuk mengetahui sebuah kelengkapan yang diperlukan untuk mencegah insiden ini tidak terjadi kembali," ujarnya.

Kerusakan tersebut membuat ATC (Air Traffic Control) terganggu pada
Minggu (16/12), sehingga pengaturan pendaratan pesawat harus dilakukan secara manual.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa kondisi ketiadaan panduan radar selama 15 menit cukup lama dan bisa membahayakan penerbangan.

Ini Penyebab Sukhoi Tabrak Gunung Salak


ANTARA/Widodo S. Jusuf/wt
 
JAKARTA--MICOM: Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) mengumumkan hasil investigasi kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100) di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.

Salah satu hasil investigasi menemukan bahwa pesawat SSJ 100 tidak dilengkapi dengan peta topografi wilayah Bogor.

"Tabrakan sebenarnya bisa dihindari, apabila setelah 24 detik pilot melakukan belok kiri sesuai warning TAWS dan itu masih berfungsi dengan benar," kata investigator KNKT Kapten Nurcahyo dalam jumpa pers tentang laporan final investigasi KNKT untuk kecelakaan Sukhoi di kantor KNKT, Jakarta, Selasa (18/12).

TAWS (Terrain Awareness and Warning System) merupakan instrumen peringatan dini dalam pesawat untuk menghindari rintangan yang berada di depan. TAWS yang berbunyi saat SSJ 100 terbang malah dimatikan pilot.

Pilot juga diketahui sedang berbincang dengan salah satu calon pembeli yang masuk ke dalam kokpit.

"Ada enam warning dari TAWS kemudian dimatikan pilot. Seharusnya kalau dia belok kiri tidak terjadi," kata Nurcahyo.

Ketua KNKT Tatang Kurniadi menambahkan, SSJ 100 tidak dilengkapi peta topografi wilayah Bogor.

"Peta yang tersedia pada pesawat tidak memuat informasi mengenai area Bogor sebagai area latih pesawat militer maupun kontur dari pegunungan sekitarnya," kata Tatang di tempat yang sama.

Pesawat terbang dengan ketinggian 10 ribu kaki selama 30 menit. Pesawat juga sudah memiliki bahan bakar yang cukup untuk terbang selama 4 jam.

"Wilayah yang diizinkan untuk penerbangan ini adalah di area Bogor. Sementara itu pilot mempunyai asumsi bahwa penerbangan itu telah disetujui," katanya.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Yurievich Galuzin berkeyakinan hasil investigasi objektif, meskipun investigasi dilakukan selama 7 bulan, lebih cepat dari target 12 bulan.

"Saya berkeyakinan bahwa investigasi sesuai dengan standar-standar internasional. Hasilnya telah diterima semua pihak yang terlibat, Indonesia, Rusia, Amerika, dan Prancis," ujar Galuzin.

Ia juga mengatakan laporan hasil investigasi akan memberikan rekomendasi-rekomendasi terkait dunia penerbangan.

"Misalnya, perbaikan sistem, perbaikan otorita, serta badan yang bersangkutan, juga keselamatan penerbangan," katanya.

Galuzin juga berharap kecelakaan pesawat Sukhoi SJ 100 tidak memengaruhi hubungan bilateral Indonesia-Rusia, terutama mengenai pengadaan pesawat Rusia di Indonesia.

Pesawat Sukhoi SJ 100 jatuh setelah menabrak tebing di areal Gunung Salak Bogor pada 9 Mei 2012. Sebanyak 45 orang yang ada di pesawat tewas, termasuk 8 warga negara Rusia yang merupakan awak pesawat Sukhoi.

Pesawat Sukhoi SJ 100 telah memiliki sertifikasi dari Eropa dan Indonesia. Dalam waktu dekat, pesawat Sukhoi jenis ini akan dikirimkan ke Indonesia.

Pemesannya ialah maskapai penerbangan Indonesia, Sky Aviation, yang telah memesan 12 pesawat Sukhoi SJ 100.

Horee! Penerbangan Nasional Tumbuh Pesat

JAKARTA--MICOM: Seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik, bisnis angkutan penerbangan nasional terus bergerak tumbuh pesat dibandingkan moda transportasi lain.

Sampai dengan Oktober 2012, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat jumlah penumpang mencapai 40,85 juta orang dengan rincian 35,52 juta orang penumpang domestik dan 5,32 juta orang penumpang internasional.

Menteri Perhubungan EE Mangindaan menyebutkan pada 2010 saja jumlah penumpang mencapai 58,39 juta orang dengan rincian 51,78 juta orang penumpang domestik dan 6,61 juta orang penumpang internasional.

"Prosentase pertumbuhan yang dicatat pada tahun 2010 total adalah 19,62% dengan perincian domestik 18,18% dan internasional 32,19%," tuturnya dalam konferensi pers akhir tahun di Kantor Kemenhub, Jakarta, (20/12).

Sementara pada 2011 jumlah penumpang mencapai 68,35 orang dengan rincian domestik 60,2 juta orang dan internasional 8,15 juta orang. Persentase pertumbuhan 2011 adalah 17,06% dengan rincian domestik 16,27% dan internasional 23,24%.

Menurut Mangindaan, peningkatan jumlah penumpang domestik diikuti penambahan rute penerbangan komersial domestik dari 222 rute pada 2011 menjadi 249 rute pada 2012. Meskipun terjadi peningkatan, Kemenhub tetap menjalankan kewajiban penyelenggaran angkutan penerbangan perintis untuk daerah terpencil.

Sepanjang 2012 pemerintah mengalokasikan subsidi perintis penerbangan sekitar Rp 279,2 miliar untuk 130 rute di 19 provinsi. "Penerbangan perintis terutama diselenggarakan guna mendukung mobilitas masyarakat di wilayah tertentu karena kondisi geografis tidak memungkinkan menggunakan moda lain," kata Mangindaan.

Ia menilai pelaksanaan penerbangan perintis masih kurang optimal karena ditemui kendala di lapangan seperti pembatalan penerbangan karena faktor cuaca atau alam. Selain itu kerusakan pesawat merupakan hal yang sering terjadi dalam penerbangan perintis.

Lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan angkutan udara, pemerintah melakukan pembangunan dan peningkatan daya dukung prasarana seperti bandara. Mangindaan mengungkapkan salah satu proyek strategis adalah pembangunan Bandara Kuala Namu yang mencapai 89,76% pada November 2012.

Kegiatan peningkatan daya dukung secara rutin juga dilakukan terhadap semua bandar udara. "Peningkatan daya dukung yang dilakukan misalnya pelebaran dan perpanjangan runway, pelapisan runway, dan rehabilitasi terminal dengan pendanaan murni dari APBN," pungkas Mangindaan.


-----------------
POST KE-1234

Tiga Faktor Penyebab Kecelakaan Sukhoi Superjet 100

Jakarta, (tvOne)

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan ada tiga faktor penyebab yang berkontribusi terhadap jatuhnya pesawat Sukhoi RRJ 95B-97004 Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi.

"Hasil investigasi KNKT dengan berbagai pihak terhadap jatuhnya pesawat Sukhoi, menyimpulkan ada tiga faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan tersebut," Kata Tatang Kurniadi dalam keterangan pers di Gedung KNKT, Jakarta, Selasa.

Menurut Tatang, faktor pertama adalah awak pesawat tidak menyadari kondisi pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang dilalui dikarenakan beberapa faktor, dan berakibat awak pesawat mengabaikan pihak dari "Terrain Awareness Warning" (TAWS). "Pada pukul 14.26 WIB, pilot minta izin untuk turun ke ketinggian 6000 kaki serta untuk membuat orbit (lintasan melingkar) ke kanan agar pesawat tidak terlalu tinggi untuk proses pendaratan di Halim menggunakan landasan 06. Izin tersebut diberikan oleh petugas 'Jakarta Approach'," ujar dia.

Ia mengatakan tiga puluh delapan (38) detik sebelum benturan, TAWS memberikan peringatan berupa suara: "Terrain Ahed, Pull UP" dan diikuti oleh enam (6) kali "Avoid Terrain". Pilot In Command (PIC) mematikan TAWS tersebut, karena berasumsi bahwa peringatan tersebut diakibatkan oleh "database" yang bermasalah.

Kedua, lanjut dia, Jakarta Radar belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang diberikan "vector" dan sistim dari Jakarta Radar belum dilengkapi dengan "Minimum Safe Altitude Warnin" (MSAW) yang berfungsi untuk daerah Gunung Salak.

"Pelayanan Jakarta Radar belum mempunyai batas ketinggian minimum untuk melakukan vector pada suatu daerah tertentu dan MSAW yang ada pada sistim tidak memberikan peringatan kepada petugas Jakarta Approach sampai dengan pesawat menabrak," paparnya.

Ia menjelaskan vector adalah perintah berupa arah yang diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada pilot pada pelayanan radar.

Hal yang terakhir, kata dia, terjadi pengalihan perhatian terhadap awak pesawat dari percakapan yang berkepanjangan dan tidak terkait dengan penerbangan. "Sehingga menyebabkan pilot yang menerbangkan pesawat tidak dengan segera merubah arah pesawat ketika orbit dan pesawat keluar dari orbit tanpa disengaja," ujarnya.

Indonesia Produksi Pesawat N219 pada 2014

Jakarta, (tvOne)

Menteri Riset dan Teknologi, Gusti Muhammad Hatta, mengatakan, Indonesia akan memproduksi pesawat N219 pada 2014. "Tahun ini masih dalam tahap desain, kemudian 2013 dibuatkan prototype dan 2014 akan diproduksi," ujar Menristek dalam lokakarya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional di Jakarta, Kamis.

Pesawat yang mempunyai kapasitas 19 penumpang tersebut, akan melayani wilayah pegunungan dan sulit dijangkau.

Pesawat N219 adalah pesawat yang mempunyai dua baling-baling dan hanya membutuhkan landasan 500 meter. "Angkutan udara memang diperlukan karena cepat, sarana mempersatu bangsa, menjangkau daerah terpencil, dan juga menunjang sektor lain." Kemristek sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp310 miliar yang digunakan untuk pembuatan prototype. Produksi pesawat tersebut melibatkan sejumlah lembaga seperti Lapan, PT DI, dan BPPT, katanya.

Sementara itu, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Bambang S Tejasukamana, mengatakan bahwa pada tahun 2013 akan diproduksi empat pesawat prototype yang digunakan untuk uji terbang dan uji struktur. "Hampir 70 persen bandara di Indonesia mempunyai landasan di bawah 800 meter," ujar Bambang.

Pesawat N219 tersebut, lanjut dia, sudah dipesan oleh sejumlah maskapai penerbangan sebanyak 50 unit. Namun sebelum dijual, kata Bambang, pihaknya akan melakukan sertifikasi terhadap pesawat tersebut.

Bambang mengatakan, pesawat yang dibuat tersebut lebih murah dibandingkan pesawat sejenis yang diproduksi negara lain. Selain itu, pada tahun 2016 juga menargetkan akan memproduksi N245 dan pada 2017 memproduksi N270, katanya.

Crashed Superjet was coded as fighter: investigators

Indonesian air traffic control was unaware that the crashed Sukhoi Superjet 100 was an airliner because it had been coded as a Sukhoi Su-30 fighter.

Flight-data personnel at Jakarta, having received a flight plan for the Superjet's demonstration, coded the aircraft as an Su-30 because the database being used did not include the twinjet.

Investigators probing the fatal Superjet crash on 9 May indicate that this misleading entry influenced a crucial decision to permit the airliner to descend to low altitude in a mountainous region, shortly before it struck terrain.

The inquiry also reveals that the aircraft was inadvertently set on its fatal collision course by the pilots who, distracted, failed to keep the aircraft turning during an orbit.

When Jakarta approach accepted responsibility for the Superjet during its flight, the controller checked the aircraft type through his radar display.

Owing to the coding, the data indicated that the aircraft was an Su-30. The controller believed the aircraft was a military fighter flying to the Bogor region for a test flight. Bogor is the location of the Atang Sanjaya military training area.

As the aircraft headed south from Jakarta the Superjet pilot requested a descent to 6,000ft and an orbit.

Indonesia's National Transportation Safety Committee says this request was based on the pilot's preparation for a runway 06 approach when the aircraft returned to Jakarta Halim airport. This approach differed from an earlier demonstration flight that day, which had used the opposite-direction runway 24.

Cockpit-voice recordings show that the captain explained to another individual on board that the descent and orbit were intended to bleed altitude in order to avoid being too high for the 06 approach.
The NTSC says the Jakarta approach controller was "not concerned" about the boundaries of the training area, which had an upper airspace limit of 6,000ft.

"The [controller] assumed that a military aircraft was eligible to fly in this area," it adds. "As a result [he] approved the aircraft to descend to 6,000ft."

While the earlier demonstration flight had turned left, northeast of Mount Salak, and headed back to Jakarta, the second flight instead performed a right-hand orbit which took its flightpath directly north of the peak.

Ironically, as the aircraft turned, the captain demonstrated the terrain-awareness function to a customer representative in the cockpit. Because the aircraft, at this point, was pointing northeast the terrain ahead was relatively flat, and the captain said there was "no problem with terrain at this moment".

To perform the orbit the pilot sequentially adjusted the heading selector - setting it to 333°, then 033°, 103°, 150° and 174°. Investigators believe the crew became distracted by discussions about fuel consumption with the customer representative, and did not notice when the Superjet dutifully rolled out onto its selected heading, 174°, which took it south towards Mount Salak.

By the time the pilots adjusted the heading selector again, to 325°, nearly a minute had gone by since the aircraft exited its orbit. The new heading turned the aircraft into the mountain peak, generating terrain-avoidance warnings which the pilots disregarded as being false.

None of the 45 occupants survived the impact. The NTSC says Jakarta approach had been busy handling several other flights and did not notice that radar contact had been lost with the Superjet for more than 20min. Only after the controller contacted Halim tower, the NTSC adds, did he realised the missing aircraft was a civil airliner.

PTDI tak Hanya Produksi Pesawat Militer

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - PT Dirgantara Indonesia (PTDI) tak hanya membuat pesawat versi militer, namun juga terus berupaya mendorong pasar pesawat sipil dan komersial.

"Dalam beberapa tahun terakhir ini pesanan ke PTDI kebanyakan pesawat militer, tapi bukan berarti hanya membuat pesawat versi itu, pasar sipil terus dikembangkan, baik untuk CN-235 maupun N-295," kata Kepala Divisi Kepatuhan dan Komunikasi PTDI Sonny Saleh Ibrahim di Bandung, Ahad (22/7).

Ia mengakui, bila pesawat CN-235 yang diproduksi dalam satu dekade terakhir adalah versi Maritime Patrol Aircraft atau patroli maritim pesanan Korea Selatan. Juga pesanan sejumlah N-295 dari TNI AL dan AU juga untuk versi militer.

Namun demikian, kedua pesawat andalan PTDI tersebut memiliki keunggulan untuk versi sipil terutama untuk penerbangan perintis. "N-295 contohnya, langsung dipesan oleh TNI-AU sehingga ada image versi militernya.

Padahal juga sangat cocok untuk pesawat sipil karena bisa melakukan pendaratan di landasan yang pendek," kata Sonny Saleh.

PTDI memiliki lisensi untuk pemasaran pesawat itu di kawasan Asia Fasific. Bahkan tidak menutup kemungkinan dengan kerjasama bersama perusahaan pesawat terbang Eropa dan AS pengembangan pasarnya bisa lebih luas, termasuk ke Amerika Selatan.

Sonny menyebutkan, saat ini PTDI terjalin kerjasama dengan sejumlah pabrikan pesawat terbang dunia seperti Boeing, Eurocopter, Sukhoi, Airbus dan lainnya. "Dalam memproduksi N-295 PTDI bekerjasama dengan Airbus Military, pemasaran ke Amerika Selatan cukup terbuka," kata Sonny.

Sementara itu. program revitalisasi PTDI yang ditandai dengan penanaman modal negara (PMN) diprediksi akan mengembalikan performance perusahaan dirgantara Indonesia itu terutama dalam memproduksi pesawat-pesawat terbang.

Menurut Sonny, CN-235 dan N-295 merupakan pesawat yang memiliki klasifikasi yang sangat bersaing. Bahkan Korea beberapa tahun lalu telah membeli empat pesawat CN-235 bersi VIP dan VVIP. "Korea Selatan saat ini menjadi pengguna CN-235 paling banyak yakni 12 unit, termasuk untuk versi patroli maritim," katanya.

Terkait pasar N-295 yang akan dikembangkan PTDI, kata Sonny peminatnya cukup bagus. PTDI telah melakukan promosi dan mengikuti pameran untuk memperkenalkan produk terbaru produk perusahaan kedirgantaraan nasional itu.

"TNI AU sudah jelas memesan untuk mengganti pesawat Fokker yang sudah di grounded, TNI AL juga. Juga sudah melakukan penawaran ke sejumlah negara di Asia Fasific," kata Sonny Saleh menambahkan.

Relasi Bisnis PTDI-Airbus Military Kian Mesra

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--PT Dirgantara Indonesia (PTDI) semakin memperkuat kemitraan bisnis dengan Airbus Military melalui berbagai program produksi bersama yang tercakup dalam perjanjian jangka panjang di antara kedua perusahaan.

“Kami bertekad semakin memperkuat kemitraan bisnis dengan Airbus Military. Kemitraan itu terkait pada produksi bersama pesawat-pesawat C212-400 dan C295,” kata Sonny Saleh Ibrahim, Asisten Dirut PTDI untuk Kendali Mutu/Asisten Dirut untuk Komunikasi Perusahaan, di Bandung, Kamis (20/12)

Berbicara kepada media terkait evaluasi akhir tahun, Sonny mengatakan PTDI dan Airbus Military telah menandatangani kesepakatan  bersama meluncurkan Airbus Military C212-400 versi upgrade sebagai tindak lanjut perjanjian jangka panjang.

Pesawat itu selanjutnya dinamai NC212 dan akan ditawarkan kepada pelanggan sipil serta militer, dilengkapi dengan avionik digital dan sistem autopilot terkini. Interiornya terbaru dan bisa membawa sampai dengan 28 penumpang. Versi saat ini 25 penumpang, sehingga efisiensi biaya naik secara berarti.

Semua pesawat upgrade tersebut akan menempatkan NC212 ini pada posisi tawar yang sangat kompetitif  di segmen pasar pesawat kecil dan medium. Pesawat ini akan disertifikasi oleh EASA dan FAA sesuai dengan FAR 25.

Kesepakatan kerjasama dalam pengembangan, manufaktur, komersialisasi dan dukungan pelanggan ini untuk memenangkan kompetisi memenuhi kebutuhan pasar di segmen pesawat kecil, baik untuk sipil, militer dan kargo, pada dekade berikut.

Sonny menjelaskan potensi pasar pada segmen ini diperkirakan akan mencapai sekitar 400-450 pesawat dalam sepuluh tahun kedepan.  Final Assembly Line sedang disiapkan di fasilitas PTDI di Bandung. 

Pesawat Mau Tabrakan di Udara Jakarta? Ini Penjelasannya

REPUBLIKA.CO.ID, BANTEN -- Gangguan sistem pemanduan lalu lintas udara yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta, Ahad (16/12) membuat beredarnya isu hampir terjadinya tabrakan pesawat di udara, atau near miss.

Pelaksana Tugas General Manager Budi Hendro mengatakan near miss berarti berkurangnya separasi jarak yang disepakati. "Tidak ada yang menyatakan near miss, tapi memang perlu investigasi," ujarnya, Kamis (20/12).

Budi mengatakan dari pengguna jasa belum ada pihak maskapai yang melakukan protes. Menurutnya, Lion Air yang disebut hampir bertabrakan di udara menyatakan tidak pernah terjadi near miss. Dia mengaku akan langsung melakukan investigasi detail dengan data akurat jika memang terjadi near miss.

Sementara itu, Deputi Senior General Manager Bandara Soekarno-Hatta Priyono Wojo mengatakan kasus (16/12) gangguan suplai bukan dari PLN tapi dari Bandara Soekarno-Hatta.

Indonesia Looks East in Infrastructure Catch-Up: Southeast Asia

Indonesia’s government will emphasize building infrastructure projects on its eastern islands in 2013 as it seeks to spread development across the archipelagic nation to boost economic growth.    

“The government must balance infrastructure improvement in areas that haven’t been developed with those that have,” Deputy Public Works Minister Achmad Hermanto Dardak said in an interview yesterday. “We will finish roads in Sumatra, Kalimantan and Sulawesi to connect the provinces on those islands, and we will build roads in Papua.”    

Indonesia must shift the share of total spending from subsidies into social programs and infrastructure to sustain growth, attract investment and reduce poverty, according to the World Bank. Faster economic growth is stretching the capacity of roads and ports as goods flow through the world’s largest archipelago, which covers 5,300 kilometers across more than 17,000 islands along the equator.    

Infrastructure spending has fallen to about 4 percent of gross domestic product from more than 8 percent in 1995 and 1996, the World Bank says. The government plans to invest about Rp 3,000 trillion ($309 billion) by the end of 2014 on infrastructure, manufacturing facilities and projects such as dams as part of its 2011-2025 development plan, Coordinating Minister for the Economy Hatta Rajasa said at yesterday’s seminar.                        

Spending Focus    
“Indonesia’s quality of spending can be improved,” Ndiame Diop, Indonesia lead economist at the World Bank, said in Jakarta yesterday during a presentation of the bank’s quarterly economic report.

“We have seen a strong increase in capital spending, which is very positive, but subsidy spending is still very high. As you know, one of the weaknesses in the fiscal policy in Indonesia is the quality and efficiency of spending.”

Complex budget revisions, administrative delays and lengthy land acquisition processes have hampered Indonesia’s ability to implement budget plans, the World Bank says, underscoring President Susilo Bambang Yudhoyono’s challenge as he seeks to sustain one of Asia’s fastest growth rates. The nation’s economy, Southeast Asia’s biggest, expanded 6.17 percent in the third quarter from a year earlier, holding above 6 percent for an eighth quarter.    

The Ministry of Public Works, among the biggest state spenders, had only disbursed about 77 percent of its Rp 75 trillion 2012 budget as of Dec. 13. It expects to reach as much as 92 percent by the end of the year.                         

Budget Delays    

Delays during budget preparations and slow clearance of land are among the reasons infrastructure spending has been slow, according to a May joint report by the Ministry of Finance and institutions including the World Bank.    

The government has revised spending rules to speed up the disbursement process, Vice Finance Minister Anny Ratnawati said last month. The new rules allow ministries to hold tenders in November for projects to be implemented in the following year, she said. Starting next year provinces, regencies and ministries must also prepare disbursement of their budgets every month.

“We will monitor this closely,” Ratnawati said. “To anticipate a slowdown in China and impact of the commodity slowdown in our state budget, improvement in the quality of spending becomes important.”

More Ports

Indonesia’s parliament approved in December 2011 a land acquisition bill to speed up the process for infrastructure projects.    

Yudhoyono also plans to build more ports, to help achieve growth of as much 9 percent a year, as in China. The pace of expansion in the world’s fourth-most populous nation has averaged about 5.6 percent in the past decade, less than China’s 10.6 percent.    

Six of the world’s 10 busiest ports in 2011 were in China, according to the World Shipping Council. Indonesia’s only entry in the top 50 was Tanjung Priok near Jakarta, ranked 24th. State-owned Indonesia Port Corporation II has started work on a harbor in Kalibaru near Tanjung Priok to ease bottlenecks.    

State-owned enterprises have committed about Rp 900 trillion through 2014 for infrastructure and real-sector projects, Economy Minister Rajasa said yesterday.    

“State-owned enterprises will build ports, airports, roads and toll roads, while the government’s budget will finance basic infrastructure such as access to fresh water in villages,’ he said. “This will improve life quality.”    

Indonesia also faces the prospect of joining a single Asean economic community with the Association of Southeast Asian Nations at the end of 2015, in which Asean will be in a single market and become production-based, Rajasa said.    

“The question is if Indonesia will become production-based or only market-based for investors,” he said. “We don’t want Indonesia to become market-based; that’s why we need to hurry to improve our infrastructure.”

Bloomberg

Mandala Airlines to Open 10 New Routes Next Year

Low-cost Indonesian carrier Mandala Airlines has announced plans to operate 10 new routes next year, half of which will serve international destinations.

Mandala commercial director Barata Rafly said the new routes included Jakarta-Bangkok, Jakarta-Kuala Lumpur, Surabaya-Kuala Lumpur, Surabaya-Singapore and Denpasar-Surabaya, all of which would open next month.

“We want to show our commitment to serving a number of routes in the Asia-Pacific... We also have a plan to expand with flight routes to other destinations in Asia and Australia,” Barata said on Monday, adding that Mandala was eyeing a route to the city of Perth in Western Australia.

He said Mandala had enough funds to purchase more airplanes in support of further expansion.

The director said significant market potential remained untapped, given the annual increases in the number of airline passengers the country and region have seen in recent years. But limited parking space for aircraft at Indonesian airports hardly allowed for fleet expansion, Barata added.

“We therefore have a big hope that the government will continue to develop aviation infrastructure both in western and eastern Indonesia,” he told Indonesian news portal tempo.co.

Investigasi Usai, Sukhoi Akan Terbang di Indonesia

Sudah ada dua maskapai penerbangan yang memesan Sukhoi Super Jet 100. 

 

VIVAnews – Investigasi kecelakaan Sukhoi Super Jet 100 yang menabrak Gunung Salak, 9 Mei 2012, telah rampung sepenuhnya. Hasil investigasi itu menyebutkan beberapa faktor penyebab kecelakaan, antara lain perhatian pilot teralihkan karena terlibat pecakapan dengan salah satu penumpang pesawat yang berada di kokpit.

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Tatang Kurniadi, menyatakan seharusnya penumpang tidak banyak bertanya kepada pilot yang sedang mengemudikan pesawat pada saat-saat sibuk. “Secara psikologis, kalau tamu mengajak bicara, pilot akan menjawab. Padahal dia harus fokus pada penerbangan,” kata Tatang, Selasa 18 Desember 2012.

Hasil laporan investigasi juga menyatakan, tidak ada indikasi kerusakan sistem pesawat selama penerbangan. Sejalan dengan itu, bila tidak ada aral melintang, tahun depan Sukhoi Super Jet 100 akan mengudara di langit Indonesia. Sukhoi memang telah mengantongi sertifikat untuk beroperasi di RI.

“Kami sudah lakukan sertifikasi atas Sukhoi. Soal bisnis itu antara pabrik Sukhoi dengan operator di Indonesia. Yang jelas kami sudah evaluasi Sukhoi dan keluarkan sertifikat (operasi),” kata Direktur Jenderal Hubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti Gumay, kepada VIVAnews.

Ia mengatakan, Sukhoi memang layak diberi sertifikat karena hasil pengujiannya bagus. Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia pun sudah melakukan validasi serifikasi. Tim validasi langsung mengunjungi pabrik Sukhoi di Rusia untuk melihat desain dan mesin pesawat.

Sukhoi Super Jet 100 sebelumnya telah mengantongi serifikat dari Lembaga Sertifikasi Rusia pada Juni 2011. Pesawat ini juga telah memperoleh Type Certificate dari Badan Keamanan Aviasi Eropa (EASA). EASA menyatakan, SSJ-100 telah memenuhi standar lingkungan dan kelayakan terbang.

Sertifikat tipe itulah yang kini juga dikeluarkan Kementerian Perhubungan RI untuk SSJ-100. Artinya, Sukhoi bisa segera beroperasi di rute-rute domestik. Saat ini, ada dua maskapai penerbangan Indonesia yang sudah memesan Sukhoi Super Jet 100, yaitu Kartika Airlines dan Sky Aviation. Kartika Airlines memesan 30 unit, dan Sky Aviation memesan 12 unit.

Sky Aviation mulai mendatangkan Sukhoi secara bertahap pada Desember 2012 ini. Total 12 unit pesawat SSJ-100 yang dipesan Sky Aviation akan lengkap pada tahun 2015. Sky Aviation juga telah menerbangkan delapan krunya ke Italia untuk mempelajari secara khusus pesawat Sukhoi.

“Sukhoi akan kami tempatkan untuk bandara dengan panjang landasan maksimal 2.000 meter. Pesawat ini spesifikasinya bagus dengan teknologi terkini,” kata Manajer Marketing Sky Aviation, Sutito Zainudin, belum lama ini. Ia mengatakan, pihaknya tak mengkhawatirkan kecelakaan yang pernah menimpa SSJ-100 di Indonesia.

Indonesia blames pilot, radar for Russian Sukhoi crash


Dec 18 (Reuters) - The crash of a Russian Sukhoi Superjet 100 that killed 45 people in Indonesia in May was caused by pilot error and the Jakarta air traffic control's lack of a minimum safe altitude system, investigators said on Tuesday.

The aircraft flew into a mountain on a demonstration flight during at tour of Asia to drum up sales.
The Sukhoi Superjet 100 was the first civil plane to be built by Russia since the fall of the Soviet Union, as part of state-owned United Aircraft Corporation, created by Russian leader Vladimir Putin to revive the aircraft industry.
The warning systems on the plane worked fine in alerting the pilots to danger, seconds before the jet hit Mount Salak, a dormant volcano about 40 miles (60 km) south of Jakarta, investigators said in a report.
Thirty-eight seconds before the impact, the plane warned "terrain ahead, pull up", and then warned six times "avoid terrain". But the pilot inhibited the system, assuming there was a problem on the database, said Tatang Kurniadi, chairman of the National Transportation Safety Committee, in a statement.
A simulation test showed the pilot, Sukhoi's chief civil test pilot Alexander Yablontsev, could have avoided the crash if action had been taken 24 seconds after the first warning, the joint Indonesian and Russian investigation found.
The crew was not aware of the mountainous area and was distracted by "prolonged conversation not related to the progress of the flight", investigators found.
It took 18 minutes for the controller on duty at Jakarta's air traffic control to notice the plane had vanished from radar, and there was no alert before it disappeared, the report said. The controller had earlier given permission for the plane to descend from 10,000 feet to 6,000 feet.
The investigators said the Jakarta radar service's lack of a minimum altitude for routes in the area and lack of an altitude warning system were factors in the accident.
The crash killed everyone on board, including Indonesian businessmen and journalists, Russian pilots and embassy officials, one American and one French citizen.
The plane was developed with Western design advice and technology from companies including Italy's Finmeccanica , as well as avionics and engine equipment from French aerospace firms Thales and Safran.

Radar blackout paralyzes Soekarno-Hatta airport

Indonesia’s main gateway, the Soekarno-Hatta International Airport in Tangerang, Banten, experienced a brief power outage that affected its radar system, disrupting flights to and from the airport on Sunday.

Soekarno-Hatta Air Traffic Services general manager Budi Hendra said that the uninterruptible power supply units (UPS) at the airport suddenly shutdown at 4:55 p.m.

“It wasn’t a total blackout, just the UPS,” he said as quoted by kompas.com, adding that the cause of the UPS power outage had not yet been determined.

Although power supply at the airport resumed at around 5:30 p.m., the airport authorities struggled to reboot a failure in the radar system.

More than 50 flights had to be rerouted or delayed, which triggered a domino effect that saw aircraft heading to Jakarta queuing at airports to wait for the radar to function again.

Garuda Indonesia had to delay 30 flights while more than 50 Lion Air flights were severely affected by the radar malfunction.

Aris Hervendra, a passenger whose flight to Bali was delayed said that the power outage also caused the lights at the airport to go out for a while.

“The lights went out and my flight was delayed. Passengers were not given any explanation [by the officials],” Aris said.

In September, the power supply at the airport was also cut off for almost an hour after its electricity substation in Meruya, West Jakarta, caught fire.

The failure caused Soekarno-Hatta’s control tower to go blank for 45 minutes, forcing aircraft to remain airborne until the system was fixed.

Sunday’s incident once again exposed problems with air traffic control (ATC) management that have long been left unresolved.

Despite rapid growth in passenger numbers, Soekarno-Hatta uses a 26-year-old system, called the Jakarta Automated Air Traffic Service (JAATS), to track around 2,000 aircraft on a daily basis — four times higher than the system’s original design capacity.

Although the JAATS was upgraded in 1996, the system seems to be overloaded by the increasing number of flights.

According to aviation experts, when the system fails, airplanes are forced to continue flying around the airport for up to 45 minutes until the ATC gives them landing clearance.

This could trigger an accident because not all commercial aircraft have suitable equipment to avoid collision.

Expansion of airline infrastructure has not been able to keep up with the soaring number of passengers at the airport.

Ranked 16th in the world’s busiest airports by passenger traffic, Soekarno-Hatta accommodated more than 50 million passengers in 2011, or more than twice its designed annual capacity of 22 million passengers.

Limited infrastructure is one of the industry’s major barriers to improving its safety and on-time
performance.

Frequent flight delays also lead to problems due to additional costs that affect all parties, especially travelers.

“Vested interests” may be behind sluggish official efforts to upgrade the nation’s antiquated and overburdened ATC system, despite the potential for midair collisions.

Critics have said that plans to separate ATC management from state airport operator PT Angkasa Pura II by 2012, as required by the 2009 Aviation Law, appeared to be at a stalemate.

Money may be one reason why the state airport operators have been slow to overhaul the nation’s ATC system, which is comprised principally of air traffic controllers directing aircraft on the ground and in the air to avoid collisions.

The ATC business, for example, accounts for at least 10 percent of the revenue of Angkasa Pura II, which manages Soekarno-Hatta International Airport, according to the company.


thejakartapost.com

Detik Demi Detik Jatuhnya Sukhoi SSJ-100

Pesawat mengalami kecelakaan dalam penerbangan kedua. 

 

VIVAnews - Setelah lebih dari tujuh bulan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan hasil investigasi pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, pada 9 Mei 2012.

Dalam jumpa pers hari ini, Selasa, 18 Desember 2012, Ketua KNKT Tatang Kurniadi mengatakan, pesawat dengan resgistrasi 97004 dengan nomor penerbangan RA 36801 mengalami kecelakaan dalam penerbangan kedua pada hari yang sama.

Pada pukul 0730 UTC (Coordinated Universal Time) atau 14.20 WIB, pesawat tinggal landas dari landasan 06 Halim Perdanakusuma, kemudian berbelok ke kanan hingga mengikuti ke radial 200 HLM VOR dan naik hingga ketinggian 10 ribu kaki.

Kemudian pada pukul 14.24 WIB, pilot melakukan komunikasi dengan Jakarta Approach dan memberikan informasi bahwa pesawat telah berada pada radial 200 HLM VOR dan telah mencapai ketinggian 10 ribu kaki.

Pada pukul 14.26 WIB, pilot meminta izin untuk turun ketinggian 6.000 kaki serta untuk membuat orbit atau lintasan melingkar ke kanan. Izin tersebut diberikan oleh petugas Jakarta Approach.

Tujuan pilot untuk turun ketinggian 6 ribu kaki dan membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu tinggi untuk proses pendaratan di Halim Perdanakusuma menggunkan landasan 06.

Lalu pada pukul 14.32 lewat 26 detik, berdasarkan waktu yang tercatat di Flight Data Recorder (FDR) pesawat menabrak tebing gunung salak pada radial 198 dan 28 Nm HLM VOR atau pada koordinat 06 derajat 42'45”S 106 derajat44'05”E dengan ketinggian sekitar 6 ribu kaki di atas permukaan laut.

Tiga puluh delapan detik sebelum benturan, Terrain Awareness Warning System (TAWS) memberikan peringatan berupa suara "Terrain AHead, Pull Up" dan diikuti oleh 6 kali "Avoid Terrain". PIC mematikan (inhibit) TAWS tersebut karena beransumsi bahwa peringatan-peringatan tersebut diakibatkan oleh database yang bermasalah.

Selain itu, tujuh detik menjelang tabrakan, terdengar peringatan berupa suara "Landing Gear Not Down" yang berasal dari sistem peringatan pesawat. Peringan "Landing Gear Not Down" aktif apabila pesawat berada pada ketinggian kurang dari 800 kaki di atas permukaan tanag dan roda pendaratan belum diturunkan.

Pada pukul 14.50 WIB petugas Jakarta Approach menyadari bahwa target pesawat shukoi RRJ95 B sudah hilang dilayar radar. Tidak ada bunyi peringatan sebelum lenyapnya titik target pesawat dari layar radar.

Kemudian pada 10 Mei 2012, Basarnas berhasil menemukan pesawat dan 15 Mei 2012, Cockpit Voice Recorder (CRV) telah ditemukan dalam keadaan hangus akan tetapi memory module dalam keadaan baik dan berisikan 2 jam rekaman dengan kualitas yang baik

Baru pada 31 Mei 2012, Flight data recorder (FDR) ditemukan dalam keadaan baik dan berisikan 150 jam rekanan dari 471 parameters.

Kedua Flight Recorder (black box) ini dibaca di lab revorder milik KNKT oleh ahli dari KNKT dan disaksikan oleh ahli dari Rusia. Seluruh parameter berhasil di download dan dari hasilnya tersebut ditemukan tidak  adanya indikasi kerusakan sistem pesawat selama penerbangan. 

Alasan Kenapa Pilot Turunkan Sukhoi ke 6.000 Kaki

Mengapa pesawat turun ini sempat jadi misterius.

 

VIVAnews - Salah satu yang sempat jadi misteri dalam kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 pada 9 Mei lalu adalah saat pilot menurunkan pesawatnya, dari ketinggian 10 ribu kaki menjadi 6 ribu kaki. Pesawat yang sedang terbang eksebisi itu lalu menabrak tebing Gunung Salak .

Saat itu, Sukhoi Superjet 100 dipiloti penerbang senior Rusia, Aleksandr Yablontsev, dan kopilot Aleksandr Kochetkov. Saat pesawat di ketinggian 10 ribu kaki, pilot meminta izin kepada petugas Jakarta Approach untuk turun ke 6.000 kaki dan membuat orbit (lintasan melingkar) ke kanan. Petugas kemudian memberikan izin tersebut.

"Tujuan pilot untuk turun ke 6.000 kaki dan membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu tinggi untuk proses pendaratan di Halim Perdanakusuma di landasan 06," jelas Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Tatang Kurniadi, di Kementerian Perhubungan pada Selasa 18 Desember 2012.

Nahas, pada pukul 14.32 lewat 26 detik, pesawat menabrak tebing Gunung Salak yang ketinggiannya 6.000 di atas permukaan laut.

Dalam kecelakaan itu, semua kru dan penumpang yang berjumlah 45 orang, tewas. Kecelakaan ini menjadi pukulan bagi industri pesawat Rusia karena  justru terjadi saat Sukhoi mempromosikan pesawat komersilnya.

 

Rusia Ungkap Faktor Lain Kecelakaan Sukhoi Superjet

Rusia dan Indonesia sepakat kecelakaan Sukhoi karena kesalahan pilot.

 

VIVAnews - Rusia dan Indonesia sepakat penyebab utama kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 adalah kesalahan pilot. Namun, Rusia pun mengungkap faktor lain dalam kecelakaan 9 Mei 2012 itu.

Dikutip dari laman Ria Novosti, Deputi Industri dan Menteri Perdagangan Yury Slyusar mengatakan, faktor lain itu adalah keterbatasan kapabilitas radar di bandara Indonesia.

"Radar tidak memiliki sistem Minimum Safe Altitude Warning (MSAW)," kata dia. Pernyataan Yuri menanggapi hasil laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi soal penyebab kecelakaan Sukhoi Superjet 100 yang menabrak tebing Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

KNKT menyimpulkan, tidak ada masalah teknis dengan pesawat SSJ-100, di hari nahas itu. Kepala KNKT Tatang Kurniadi mengatakan, kru Rusia kurang familiar dengan daerah pegunungan di lokasi demonstrasi pesawat. Ditambah lagi kru tidak membawa peta kawasan Bogor.

Pilot juga gagal bereaksi terhadap enam peringatan dari sistem peringatan (TAWS) pesawat yang sudah menyala sebagai tanda ada bahaya potensial.

"Awak pesawat tidak menyadari daerah pegunungan di jalur penerbangan karena beberapa faktor. Ini berarti mereka mengabaikan sinyal peringatan dari TAWS, " kata Tatang.

Dia pun menambahkan, kemungkinan konsentrasi pilot terganggu karena kehadiran calon pembeli pesawat di kokpit.

Pilot gagal mematuhi ketinggian minimum yang disetujui dalam aturan penerbangan instrumen (IFR) untuk penerbangan dan dengan ketinggian yang aman minimum (MSA) untuk pengendalian lalu lintas udara di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, tempat di mana Superjet lepas landas.

Penyidik mengatakan minimum off-rute ketinggian disetujui di IFR adalah 13.200 kaki, namun pesawat itu terbang pada 10.000 kaki. Pesawat ini kemudian diketahui turun sampai ke 6.000 kaki.

Sukhoi Celaka Karena Kesalahan Manusia

Ada penumpang yang masuk ke kokpit dan ngobrol dengan pilot.

 

VIVAnews - Setelah tujuh bulan melakukan investigasi, Selasa 18 Desember 2012 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan penyebab jatuhnya Sukhoi. Pesawat Superjet 100 buatan Rusia itu, jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, pada 9 Mei 2012. Hasil investigasi komite itu tidak menemukan kerusakan peralatan pada pesawat selama penerbangan berlangsung.
Dalam jumpa pers yang digelar di Kementerian Perhubungan Selasa siang tadi, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menguraikan bahwa pesawat itu celaka pada penerbangan kedua. Nomor registrasi pesawat ini 97004 dengan nomor penerbangan RA 36801. Pada pukul 07.30 UTC (Coordinated Universal Time) atau 14.20 WIB, pesawat mengudara dari landasan 06 Halim Perdanakusuma. Kemudian berbelok ke kanan hingga mengikuti ke radial 200 HLM VOR dan naik hingga ketinggian 10 ribu kaki.

Kemudian pada pukul 14.24 WIB, pilot melakukan komunikasi dengan Jakarta Approach dan memberikan informasi bahwa pesawat telah berada pada radial 200 HLM VOR dan telah mencapai ketinggian 10 ribu kaki. Pada pukul 14.26 WIB, pilot meminta izin untuk turun ketinggian 6.000 kaki serta untuk membuat orbit.

Tujuan menurunkan ketinggian ke 6 ribu kaki dan membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu tinggi saat proses pendaratan di Halim Perdanakusuma.

Lalu pada pukul 14.32 lewat 26 detik, berdasarkan waktu yang tercatat di Flight Data Recorder (FDR), pesawat menabrak tebing Gunung Salak pada radial 198 dan 28 Nm HLM VOR atau pada koordinat 06 derajat 42'45” Lintang Selatan 106 derajat 44'05” Bujur Timur dengan ketinggian sekitar 6 ribu kaki di atas permukaan laut.

Tiga puluh delapan detik sebelum benturan, Terrain Awareness Warning System (TAWS) memberikan peringatan berupa suara "Terrain Ahead, Pull Up" dan diikuti oleh 6 kali "Avoid Terrain". PIC mematikan (inhibit) TAWS tersebut karena berasumsi bahwa peringatan-peringatan tersebut diakibatkan oleh database yang bermasalah.

Selain itu, tujuh detik menjelang tabrakan, terdengar peringatan berupa suara "Landing Gear Not Down" yang berasal dari sistem peringatan pesawat. Peringatan "Landing Gear Not Down" aktif apabila pesawat berada pada ketinggian kurang dari 800 kaki di atas permukaan tanah dan roda pendaratan belum diturunkan.

Pada pukul 14.50 WIB petugas Jakarta Approach menyadari bahwa pesawat shukoi yang membawa 45 penumpang dan kru ini sudah hilang di layar radar. Tidak ada bunyi peringatan sebelum lenyapnya titik target pesawat dari layar radar.

Tabrakan Bisa Dihindari

KNKT menegaskan bahwa kecelakaan seharusnya bisa dihindari. "Hasil simulasi yang dilakukan setelah kejadian diketahui bahwa TAWS berfungsi dengan baik dan memberikan peringatan yang benar," kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi. "Simulasi juga menunjukan bahwa benturan dapat dihindari jika dilakukan tindakan menghindar sampai dengan 24 detik setelah peringatan TAWS yang pertama," katanya.

Sementara pelayanan radar Jakarta belum mempunyai batas ketinggian minimum untuk melakukan "vector" (perintah berupa arah yang diberikan pengatur lalu lintas udara) pada suatu daerah tertentu dan minimum safe altitude warning (MSAW). Karena itu, sistem di Jakarta tidak memberikan peringatan kepada petugas Jakarta sampai kemudian pesawat menabrak.

Karena itu, investigasi KNKT menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan tersebut, antara lain, pertama, awak pesawat tidak menyadari kondisi pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang dilakui karena beberapa faktor dan berakibat awak pesawat mengabaikan peringatan dari TAWS.

Kedua, radar Jakarta belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang diberikan vector serta belum dilengkapi dengan MSAW yang berfungsi untuk daerah Gunung Salak. Pesawat bahkan tidak dilengkapi dengan peta Bogor.
Ketiga, ada penumpang yang masuk ke dalam kokpit pesawat dan ngobrol dengan pilot. Percakapan dengan penumpang yang masuk itu menganggu konsentrasi sang pilot. Masuknya penumpang ke kokpit itu memang menimbulkan pertanyaan. Sebab aturan penerbangan di seluruh dunia melarang keras penumpang masuk kokpit saat pilot tengah menerbangkan pesawat.

“Kalau dalam penerbangan rutin, pasti tidak boleh ada penumpang di kokpit. Tapi biasanya kalau penerbangan demonstrasi, pembeli potensial memang selalu diizinkan berada di kokpit untuk melihat-lihat,” kata Tatang Kurniadi, usai jumpa pers.

Ia menambahkan, pilot Sukhoi sendiri, Alexander Yablontsev, merupakan pilot dengan pengalaman luar biasa. “Ia bahkan memiliki rekam jejak yang sangat bagus dalam menerbangkan pesawat tempur Rusia.”

Investigator in charge, Mardjono, menyampaikan bahwa terjadi diskusi yang cukup lama antara penumpang di kokpit itu dengan pilot dan kopilot, sehingga perhatian pilot teralihkan. Saat terjadi obrolan itulah kopilot bertanya kepada pilot, apakah akan pulang atau membuat orbit baru. Kopilot mengulang pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali. “Dan dijawab pulang,” kata Mardjono.

Sang kopilot sesungguhnya terus minta agar pesawat diterbangkan ke arah barat laut. Namun saat itu pilot tetap saja berbincang dengan penumpang yang masuk ke kokpit itu. “Karena ada pembicaraan itu, maka arahnya nyelonong,” ujar Mardjono. Sebelum menabrak gunung, pesawat telah memberikan peringatan berulang-ulang, namun diabaikan oleh pilot dan kru pesawat.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Golozin, menyatakan, kecelakaan ini merupakan gabungan dari sejumlah faktor yang kurang baik, termasuk kinerja sistem pesawat. Dia berharap hasil investigasi ini bisa dijadikan pelajaran oleh dunia penerbangan untuk memperbaiki sistem. "Yang paling penting, hasil laporan tersebut bisa digunakan untuk mencegah adanya musibah-musibah yang sama di masa yang akan datang," tutur dia.

Dua Maskapai Siap Pakai Sukhoi

Dan hasil investigasi ini menguatkan uji yang dilakukan Kementerian Perhubungan yang sudah menerbitkan sertifikasi laik terbang untuk pesawat buatan Rusia ini. Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia sudah melakukan validasi sertifikasi atas SSJ-100, nama lain Superjet 100. Tim validasi itu mengunjungi pabrik Sukhoi dan melihat desain dan mesin pesawat.

Produsen pesawat sipil milik pemerintah Rusia ini menilai Asia kini sudah menjadi pasar yang strategis bagi industri pesawat komersil. “Proses negosiasi berlangsung di seluruh dunia, tetapi kami melihat kawasan Asia memiliki potensi dan prioritas yang paling besar. Kami melihat semua, perkembangan di China, India dan negara-negara Asia Tenggara,” kata Igor Sirtsov, Wakil Presiden Senior dari Grazhdanskie Samolety Sukhogo (GSS), produsen pesawat sipil Sukhoi.

Ada dua maskapai Indonesia yang sudah memesan SSJ-100, yaitu Kartika Airlines dan Sky Aviation. Masing-masing maskapai ini memesan 30 dan 12 unit dengan harga per pesawat sekitar US$30 juta atau Rp288,5 miliar. Perusahaan penerbangan Sky Aviation tahun ini akan mendapat pesawat SSJ 100 untuk pertama kalinya.

“Kami hampir selesai untuk diskusi perjanjian leasing. Dan sekarang sedang berjalan proses pembiayaan dengan perjanjian leasing untuk 3 pesawat pertama pesanan Sky Aviation,” kata Sirtsov.

Menurut General Manager Marketing Sky Aviation, Sutito Zainudin, untuk membeli 12 pesawat jet ini, perusahannya menggelontorkan dana hingga US$308,4 juta atau sekitar Rp2,97 triliun. Kontrak pembelian sudah diteken di arena International Aviation and Space Salon MAKS 2011 di Zhukovsky, Rusia, pada 2011.

Komitmen kuat untuk mendatangkan Sukhoi Superjet 100 juga datang dari manajemen Kartika Airlines. Direktur Komersial Kartika Airlines, Aditya Wardana, mengatakan pesawat-pesawat yang dipesan perusahaannya akan tiba mulai Mei 2013.

Kartika Airlines menandatangani kontrak pembelian 30 pesawat SSJ-100 pada Juli 2010 lalu dengan estimasi nilai US$951 juta saat Farnborough International Airshow di Inggris. Pesawat yang dipesan memiliki kapasitas 100 penumpang. Aditya mengakui, pengiriman pesawat pesanan mereka sempat tertunda akibat kecelakaan di Gunung Salak pada Mei 2012.

 

Pilot Sukhoi Ngobrol dengan Penumpang di Kokpit, Ini Kata KNKT

Aturan penerbangan reguler melarang penumpang masuk kokpit. Tapi...

 

VIVAnews – Investigasi kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 menemukan beberapa faktor penyebab kecelakaan di Gunung Salak, Bogor, Mei 2012. (Baca Mengapa Sukhoi Itu Jatuh). Salah satu penyebab kecelakaan itu, begitu kesimpulan investigasi itu, adalah lantaran pilot ngobrol dengan salah seorang penumpang di kokpit.
Masuknya penumpang ke kokpit itu memang menimbulkan pertanyaan. Sebab aturan penerbangan di seluruh dunia melarang keras penumpang masuk kokpit saat pilot tengah menerbangkan pesawat.
“Kalau dalam penerbangan rutin, pasti tidak boleh ada penumpang di kokpit. Tapi biasanya kalau penerbangan demonstrasi, pembeli potensial memang selalu diizinkan berada di kokpit untuk melihat-lihat,” kata Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Tatang Kurniadi, usai jumpa pers hasil investigasi kecelakaan Sukhoi di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa 18 Desember 2012.

“Hanya masalahnya, dalam keadaan krusial, ini tidak bisa ditangani,” kata  Tatang. Ia menambahkan, pilot Sukhoi sendiri, Alexander Yablontsev, merupakan pilot dengan pengalaman luar biasa. “Ia bahkan memiliki rekam jejak yang sangat bagus menerbangkan pesawat tempur Rusia,” kata Tatang.

Sebelumnya, investigator in charge, Mardjono, menyampaikan bahwa terjadi diskusi yang cukup lama antara penumpang di kokpit itu dengan pilot dan kopilot, sehingga perhatian pilot teralihkan.
Saat terjadi obrolan itulah kopilot bertanya kepada pilot, apakah akan pulang atau membuat orbit baru. Kopilot mengulang pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali. “Dan dijawab pulang,” kata Mardjono.

Sang kopilot sesungguhnya terus minta agar pesawat diterbangkan ke arah barat laut. Namun saat itu pilot tetap saja berbincang dengan penumpang yang masuk ke kokpit itu. “Karena ada pembicaraan itu, maka arahnya nyelonong,” ujar Mardjono. Sebelum menabrak gunung, pesawat telah memberikan peringatan berulang-ulang, namun diabaikan oleh pilot dan kru pesawat.

 

KNKT: Pilot Sukhoi Harusnya Bisa Elakkan Tabrakan

Ada tiga faktor penyumbang kecelakaan ini. Human error?

VIVAnews - Komite Nasional Keselamatan Transportasi menyatakan, kecelakaan pesawat Sukhoi pada 9 Mei 2012 seharusnya bisa dihindari. KNKT menjelaskan, alat Terrain Awareness Warning System (TAWS) sudah memperingatkan dalam bentuk pesan suara "Terrain AHead, Pull Up" 38 detik sebelum tabrakan terjadi.

"Hasil simulasi yang dilakukan setelah kejadian diketahui bahwa TAWS berfungsi dengan baik dan memberikan peringatan yang benar," kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi dalam jumpa pers di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa 18 Desember 2012. "Simulasi juga menunjukan bahwa benturan dapat dihindari jika dilakukan tindakan menghindar sampai dengan 24 detik setelah peringatan TAWS yang pertama," katanya.

Sementara pelayanan radar Jakarta belum mempunyai batas ketinggian minimum untuk melakukan "vector" (perintah berupa arah yang diberikan pengatur lalu lintas udara) pada suatu daerah tertentu dan minimum safe altitude warning (MSAW). Karena itu, sistem di Jakarta tidak memberikan peringatan kepada petugas Jakarta sampai kemudian pesawat menabrak.

Karena itu, investigasi KNKT menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan tersebut, antara lain, pertama, awak pesawat tidak menyadari kondisi pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang dilakui karena beberapa faktor dan berakibat awak pesawat mengabaikan peringatan dari TAWS.

Kedua, radar Jakarta belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang diberikan vector serta belum dilengkapi dengan MSAW yang berfungsi untuk daerah Gunung Salak. Ketiga, terjadi pengalihan perhatian terhadap pesawat dari percakapan yang berkepanjangan dengan tidak terkait dengan penerbangan yang telah menyebabkan pilot yang menerbangkan pesawat tidak dengan segara mengubah arah pesawat ketika pesawat ke luar dari orbit tanpa sengaja.

Akibat kecelakaan ini, seluruh penumpang dan kru pesawat tewas yang berjumlah 45 orang tewas. Sebagian besar korban adalah warga negara Indonesia (34 orang) dan sisanya dari Amerika Serikat, Italia, Prancis dan Rusia.

Tanggapan Rusia Soal Hasil Investigasi Sukhoi

Tragedi itu dianggap gabungan dari beberapa faktor kurang baik.

 

VIVAnews - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memaparkan hasil investigasi mereka terhadap jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak pada 9 Mei yang lalu. Rusia memberi penghormatan pada hasil investigasi KNKT yang dipaparkan itu.

"Kami tidak bisa bilang puas atau tidak puas dengan hasil investigasi ini, karena ada manusia yang menjadi korban," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Golozin di Jakarta, Selasa 18 Desember 2012.

Dalam hasil investigasi yang dipaparkan, KNKT mendapatkan sejumlah fakta terkait tragedi itu. Di antaranya pesawat itu tidak memuat peta areal Bogor. Padahal, daerah yang dilintasi itu memiliki sejumlah pegunungan. Sukhoi nahas itu juga turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki. Padahal daerah tersebut merupakan wilayah pegunungan. Manuver itu dilakukan agar pesawat tidak terlalu tinggi untuk proses pendaratan di Halim Perdanakusuma di landasan 06.

Tak hanya itu, KNKT juga menemukan bahwa pilot pesawat melakukan perbincangan dengan salah seorang penumpang di kokpit.  Karena obrolan tersebut, Sukhoi nahas itu menjadi salah arah. KNKT juga menyatakan pilot seharusnya bisa menghindari tabrakan tersebut, karena sistem pesawat telah memberi peringatan berulangkali. Namun diabaikan.

Menurut Golozin, kecelakaan ini merupakan gabungan dari sejumlah faktor yang kurang baik, termasuk kinerja sistem pesawat. Dia berharap hasil investigasi ini bisa dijadikan pelajaran oleh dunia penerbangan untuk memperbaiki sistem. "Yang paling penting, hasil laporan tersebut bisa digunakan untuk mencegah adanya musibah-musibah yang sama di masa yang akan datang," tutur dia.

Sukhoi SSJ-100 Diizinkan Terbang di Langit Indonesia


Sukhoi SSJ-100 Diizinkan Terbang di Langit Indonesia
(aviationweek.com)
 
Liputan6.com, Jakarta : Pesawat buatan Rusia, Sukhoi Superjet 100 (model RRJ-95B) , sejenis dengan yang jatuh di Gunung Salak Rabu 9 Mei 2012 lalu, akhirnya mendapat izin untuk terbang di langit Indonesia.

Situs berita Rusia, RIA Novosti melaporkan, sertifikat kelaikan udara itu dikeluarkan Kementerian Perhubungan Indonesia Kamis 22 November 2012. Itu artinya, lampu hijau diberikan untuk ekspor pesawat tersebut yang nantinya akan digunakan oleh maskapai tanah air.

"Kami siap sepenuhnya untuk menyuplai pesawat untuk klien pertama di Asia Tenggara, maskapai Indonesia Sky Aviation," ujar Wakil Direktur Sukhoi, Igor Vinogradov. Ada 12 pesawat yang diorder, pengiriman akan dilakukan sebelum akhir tahun.

Dikonfirmasi, Juru Bicara Kemenhub, Bambang S Ervan membenarkan pihaknya telah mengeluarkan sertifikat tipe (type certificate). Itu artinya, "bahwa pesawat Sukhoi bisa bisa didaftarkan, bisa beroperasi di Indonesia," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (27/11/2012).

Kemenhub, dia menjelaskan, telah melakukan validasi terhadap sertifikat yang dikeluarkan otoritas penerbangan sipil Rusia. " Kami melakukan validasi terhadap tipe sertifikat yang dikeluarkan terkait dengan masalah teknis produksi pesawat. Tipe ini sudah dinyatakan memenuhi kelaikan," tambah Bambang.

Sebelum akhirnya bisa terbang dan melayani penerbangan di nusantara, Bambang menambahkan, masing-masing pesawat sebelumnya harus didaftarkan oleh perusahaan yang akan mengoperasikannya. "Untuk mendapatkan aircraft certificate, baru terbang," kata dia.

Pernah celaka

Bagaimana dengan fakta bahwa SSJ-100 jenis itu pernah jatuh dan menewaskan 45 orang di Gunung Salak?

Bambang menjelaskan, masalah kecelakaan adalah hal berbeda. "Banyak pesawat yang awalnya juga mengalami kecelakaan, seperti Airbus misalnya. Jadi ini hal berbeda," kata dia.

Kemenhub, tegas dia, sudah melakukan validasi terhadap SSJ-100. "Semua persyaratan yang ada dalam sertifikasi telah sesuai dengan ketentuan," kata dia. Sukhoi Superjet 100 dinyatakan layak.

Sebelumnya, pada Februari 2012, SSJ-100 juga mendapat Type Certificate dari European Aviation Safety Agency (EASA)

Awal 2013, Sukhoi Mengudara di Langit Indonesia

Awal 2013, Sukhoi Mengudara di Langit Indonesia
 
Liputan6.com, Jakarta : Kementerian Perhubungan akhirnya mengizinkan pesawat Sukhoi Superjet 100 (model RRJ-95B) mengudara. Pesawat jet buatan Rusia jenis ini pernah jatuh dan menabrak Gunung Salak saat uji coba terbang pada 9 Mei 2012.

Trigama Rekatama, selaku agen Sukhoi di Indonesia, menyambut baik atas izin yang telah dikeluarkan pemerintah. Trigama memperkirakan burung besi itu dapat mulai mengudara pada awal 2013.

"Kami sambut baik atas dikeluarkannya izin terbang setelah terjadinya kasus di Gunung Salak beberapa waktu lalu. Mudah-mudahan jika semuanya lancar, awal 2013 sudah dapat beroperasi," kata Sunaryo selaku konsultan Trigama, saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (27/11/2012).

Nantinya, lanjut Sunaryo, pesawat yang dapat memuat 80-90 penumpang ini akan digunakan oleh maskapai Sky Aviation. Sebanyak 12 pesawat yang dimiliki maskapai Sky ini pun akan dioperasikan di Indonesia bagian timur. "Dioperasikan untuk jarak-jarak menengah," ujarnya.

Izin terbang Sukhoi ini dikeluarkan Kementerian Perhubungan pada Kamis (22/11). Sebelumnya, pada Februari 2012, SSJ-100 juga mendapat Type Certificate dari European Aviation Safety Agency (EASA).

Seperti diketahui, saat diujicobakan, pesawat Sukhoi jenis ini jatuh dan menabrak Gunung Salak pada 9 Mei 2012 lalu. Sebanyak 45 awak, termasuk delapan kru dari Rusia tewas.

Pesawat nahas itu hilang kontak setelah 12 menit terbang dari Bandara Halim Perdana Kusumah menuju Bandara Atang Sanjaya, Bogor.

Siap Mengudara, Sukhoi SSJ-100 Tak Trauma Gunung Salak


Siap Mengudara, Sukhoi SSJ-100 Tak Trauma Gunung Salak
 
Liputan6.com, Jakarta : Sebanyak 12 armada Sukhoi Superjet 100 (model RRJ-95B) sudah memiliki izin terbang mengudara di Indonesia. Pihak Sukhoi mengakui sudah tak lagi trauma dengan kecelakaan di Gunung Salak yang menewaskan seluruh awak pada 9 Mei 2012.

"Kasus itu kan sudah jelas, permasalahannya bukan di pesawatnya," kata Sunaryo, dari konsultan Trigama Rekatama selaku agen Sukhoi di Indonesia, saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (27/11/2012).

Menurut Sunaryo, perusahaan Sukhoi di Rusia pun tidak terganggu akan peristiwa kecelakaan di Gunung Salak. "Mereka masih produksi pesawat jenis ini dan masih memenuhi permintaan sejumlah negara," ujarnya.

Sunaryo menjelaskan, berdasarkan penyelidikan, disebutkan tidak ada permasalahan di pesawat sebelum kecelakaan di Gunung Salak terjadi. Sejumlah peralatan di pesawat pun masih berfungsi baik sebelum terjadinya kecelakaan itu. "Kalau misalnya ada peralatan yang tidak berfungsi, seharusnya pilot memberitahukannya sebelum terbang. Apalagi soal emergency. Tapi itu semua normal," ujarnya.

Izin terbang Sukhoi ini dikeluarkan Kementerian Perhubungan pada Kamis (22/11). Sebelumnya, pada Februari 2012, SSJ-100 juga mendapat Type Certificate dari European Aviation Safety Agency (EASA).

Seperti diketahui, saat diujicobakan, pesawat Sukhoi jenis ini jatuh dan menabrak Gunung Salak pada 9 Mei 2012 lalu. Sebanyak 45 awak, termasuk delapan kru dari Rusia tewas.

Pesawat nahas itu hilang kontak setelah 12 menit terbang dari Bandara Halim Perdana Kusumah menuju Bandara Atang Sanjaya, Bogor.

KNKT Ungkap Hasil Investigasi Jatuhnya Sukhoi

Liputan6.com, Jakarta : Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan hasil investigasi kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 pada Selasa (18/12/2012). Pesawat pabrikan Rusia itu jatuh di Gunung Salak, Bogor, 9 Mei 2012 lalu.

"Nanti diumumkan di kantor pukul 11.00 WIB, apa saja temuannya, nanti saja kita liat," kata Kepala KNKT, Tatang Kurniadi tanpa mau membocorkan apa saja temuan KNKT.

Kapuskom Publik Kementrian Perhubungan Bambang S Ervan juga enggan mengungkapkan apa saja temuan KNKT atas musibah jatuhnya pesawat yang sedang terbang gembira itu.

Pesawat Sukhoi Superjet 100 jatuh di Gunung Salak saat melakukan penerbangan. Dalam kecelakaan tersebut tercacat sebanya 45 orang tewas dalam kecelakaan itu.

Mereka yang ikut dalam penerbangan maut itu umumnya adalah calon pembeli potensial, sejumlah pramugari, kalangan dunia penerbangan dan para wartawan. Penerbangan saat itu memang menjadi ajang perkenalan pertama pesawat penumpang asal Rusia itu.

11 Temuan KNKT Penyebab Jatuhnya Sukhoi Superjet


11 Temuan KNKT Penyebab Jatuhnya Sukhoi Superjet
 
Liputan6.com, Jakarta : Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT akan mengumumkan penyebab jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, 9 Mei lalu. Dari data awal KNKT ada 11 temuan dari peristiwa yang menewaskan 35 Warga Negara Indonesia (WNI) dan 10 Warga Negara Asing itu.

Situs resmi KNKT, Selasa (18/12/2012), sudah memuat hasil investigasi kecelakaan pesawat Sukhoi Sukhoi RRJ-95B; 97004 itu.

Dalam laporan ini, KNKT menggaris bawahi bahwa temuan, informasi, dan rekomendasi ini berdasarkan pada keselamatan penerbangan. "Temuan dalam kasus ini tidak dalam posisi menyalahkan," jelas keterangan resmi KNKT.

Berikut 11 findings atau temuan KNKT atas insiden Sukhoi Superjet itu:

1. Penerbangan sudah direncanakan dalam Aturan Instrumen Penerbangan atau IFR.
2. Rute penerbangan direncanakan bukanlah rute udara resmi yang diterbitkan.
3. Rute minimum (MORA) untuk rute penerbangan yang direncanakan adalah 13.200 kaki.
4. Ketinggian Aman Minimum (MSA) dari Lanud Halim Perdanakusuma adalah 6.900 kaki. Sementara Radius MSA itu adalah 25 Nautical Mile (NM) dari Halim.
5. Ketinggian penerbangan adalah 10.000 kaki.
6. Awak pesawat meminta untuk turun ke 6.000 kaki. Menara kontrol mengizinkan untuk turun ke posisi 6.000 kaki.
7. Penerbangan meminta orbit ke kanan pada ketinggian 6.000 kaki dan disetujui Menara kontrol
8. Ketika layar radar menunjukkan pesawat meminta orbit, posisinya sudah berada di atas area Pelatihan Sanjaya Atang.
9. Kawasan Atang Sanjaya berada di sekitar 17 Nm barat daya dari Halim Perdanakusuma
10. Penerbangan menabrak daratan pada arah 198 derajat dari Halim pada jarak 28 Nm, ketinggian sekitar 6.000 kaki.
11. Data para awak dan penumpang berada di dalam pesawat. Salinan manifes penumpang dan awak tidak tersedia di lembaga Ground Handling.

Rekomendasi KNKT untuk Sukhoi dan Dirjen Udara

Rekomendasi KNKT untuk Sukhoi dan Dirjen Udara
 
Liputan6.com, Jakarta : Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT sudah menyampaikan 11 temuan kronologi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, 9 Mei lalu. Selain temuan, KNKT juga memberikan rekomendasi kepada Indonesia dan Rusia atas insiden yang menewaskan 35 Warga Negara Indonesia (WNI) dan 10 Warga Negara Asing itu.

Dalam keterangan resmi di situsnya, Selasa (18/12/2012), KNKT menegaskan bahwa saat membuat rekomendasi dari investigasi ini, pertimbangan utamanya adalah keselamatan penerbangan.

"Namun, KNKT akui bahwa pelaksanaan rekomendasi dari penyelidikan itu juga akan dikenakan kepada industri penerbangan," tulis keterangan resmi KNKT.

KNKT sudah mengeluarkan rekomendasi ini sejak 22 Juni 2012. Rekomendasi ini diperuntukan bagi instansi penerbangan di Indonesia dan Rusia, sebagai produsen pesawat.

Berikut hasil rekomendasi KNKT:
1. Rekomendasi untuk Indonesia
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara:

Semua pesawat yang digunakan untuk penerbangan demonstrasi yang operasionalnya berada di bawah Aturan Instrumen Penerbangan atau IFR, harus mengikuti aturan Ketinggian Minimum aman penerbangan yang telah diterbitkan

Sebelum penerbangan, faftar manifes awak dan penumpang harus tersedia di Ground Handling dan di kantor Pelayanan Operasi

2. Rekomendasi untuk Perusahaan Sukhoi di Rusia:
Sebelum terbang, harus meninjau prosedur persiapan penerbangan dan aturan demonstrasi penerbangan. Jika diperlukan, memperkenalkan amandemen yang tepat.

Mengatur pelatihan tambahan untuk awak penerbangan yang akan melakukan demonstrasi penerbangan, terutama di daerah pegunungan.

Memastikan daftar manifes awak dan penumpang pesawat berada di Ground
Handling dan kantor Operasi Pelayanan sebelum penerbangan.

Sempat Alami Gangguan, Bandara Polonia Kembali Normal

MEDAN- Penerbangan di Bandara Polonia Medan kembali normal pascaterganggunya sistem radar di Bandara Soekarno Hatta pada Minggu,16 Desember kemarin.

Akibat gangguan tersebut, sebanyak empat pesawat dengan delapan rute penerbangan delay hingga beberapa jam.

"Semua sudah normal kembali pasca-terganggunya penerbangan dikarenakan sistem radar di Soekarno Hatta terganggu," kata Air Potr Guti Manager, Prio Ambardi, Senin (17/12/2012).

Normalnya penerbangan mulai terlihat mulai pagi tadi. "Ya, semua pesawat sudah terbang kembali sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan," terangnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kerusakan radar di Bandara Soekarno Hatta baru diketahu setelah adanya laporan dari Air Traffic Services (ATS) sekira pada pukul 17.10 Wib.

Otoritas Bandara Polonia tidak berani memberikan izin terbang karena sangat berisiko. Alhasil, beberapa pesawat ditahan di Bandara sampai sistem kembali normal.

Masalah di Angkasa Pura: SDM, SDM, dan SDM

JAKARTA - Permasalahan yang ada di Angkasa Pura bukan hanya menyangkut pada persoalan teknologi. Pasalnya, Ketua Asosiasi Power Quality, Pekik Argo Dahono menyebut ada persoalan lain di instansi penerbangan itu, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM).

"Problem di angkasa pura itu ada tiga, SDM, SDM, dan SDM," katanya kepada wartawan di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (18/12/2012).

Berdasarkan apa yang diketahuinya, karyawan di Angkasa Pura mempunyai tugas rangkap. Dia mencontohkan, seorang teknisi harus melakukan evaluasi dan lainnya. "Dari situ jelas terjadi krisis SDM yang sangat sedikit," jelasnya.

Kemudian, lanjut dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, sangat jarang sekali SDM di Angkasa Pura mengikuti pelatihan dan pendidikan. Kalaupun mengikuti itu dilakukan oleh vendor yang hasilnya tentu akan bias.

"Ini Angkasa Pura, training centernya libur semua. Persoalan Angkasa Pura I dan II dan di semua BUMN itu masalah SDM," tegasnya.

Maka dari itu, Angkasa Pura kerap memanfaatkan pegawai-pegawai yang sudah pensiun untuk tetap bekerja. Meski diakuinya, untuk merekrut pegawai yang memahami persoalan radar itu bukan hal yang mudah dan cukup memakan waktu yang lama karena orang tersebut harus memiliki sertifikat nasional.

"Tapi tahun kemarin mereka menyiapkan 25 orang untuk dipekerjakan di ATC tadi," sambung dia.

Bukan hanya itu, tambah Pekik, pegawai Angkasa Pura juga masih banyak yang tidak disiplin sangat bekerja.

Menhub Benarkan Pesawat Lion Nyaris Saling Senggol di Udara

JAKARTA - Menteri Perhubungan EE Mangindaan membenarkan matinya radar Bandara Soekarno Hatta hampir terjadi tabrakan pesawat antara Lion Air dengan Lion Air.

"Iya, 15 menit terhenti operasional radar, kemudian listrik mati. Itu yang membuat selama 15 menit itu tidak terkendali. (Yang senggolan) Itu memang Lion dengan Lion," ujar Mandindaan usai menghadiri Peringatan Hari Ibu di UKM Gallery Selasa (18/12/2012)

Melihat kondisi demikian, lanjut Mangindaan, pihaknya tak memberangkatkan atau menghentikan sementara penerbangan. Dan sistem radar dikembalikan ke manuali.

"Lalu kita coba yang mau berangkat itu semua dihentikan dulu. Dipindahkan ke manual baru bisa jalan, dan itu hanya 15 menit. Jadi betul hampir senggol antara Lion dengan Lion," tuturnya.

Saat dikonfirmasi apakah PT Angkasa Pura akan dilakukan evaluasi atas terjadinya peristiwa tersebut? Mangindaan mengatakan yang menjadi persoalan adalah listrik yang naik turun.

"Bukan itu masalahnya. Masalahnya itu naik turunya listrik. Kalau saya lebih ke bagaimana caranya agar listrik tidak turun, dengan energi yang bisa tahan, misalnya dengan tenaga suryalah atau yang lain," katanya.

Apakah 2013 bisa dijamin tidak terulang peristiwa yang sama? Mangindaan memastikan tak akan terjadi jika pasokan listrik aman.

"Insya Allah, karena kita sudah antisipasi listrik itu agar tidak naik turun," tutupnya.

Hatta: Gangguan Radar Sangat Mengerikan di Dunia Penerbangan

JAKARTA - Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyesalkan rusaknya Uninterruptible Power Supply (UPS) milik PT Angkasa Pura (AP) II yang menyebabkan terganggunya sistem radar di Bandara Soekarno Hatta, kemarin.

"Kalau dari segi material saya kira ini tidak terlalu besar. Akan tetapi di dalam dunia penerbangan hal seperti itu sangat mengerikan dan tidak boleh terjadi," kata Hatta usai menghadiri pelantikan Kepala Staf TNI Angkatan Laut dan Kepala Staf TNI Angakatan Udara di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (17/12/2012).

Pasca kejadian tersebut dia langsung menghubungi Dirjen Perhubungan Uadara untuk mengetahui kronologis permasalahan tersebut. "Langsung direspons, dikatakan memang ada kerusakan pada ATC. Biasanya kalau down dia akan switch otomatis. Tetapi itu rupanya terbakar. Main ATC terbakar sehingga tidak bisa langsung dan manual," imbuhnya.

"Manual itu memerlukan waktu sehingga terjadi blackout hingga 15 menit. 15 menit itu blackout itu panjang waktunya di udara. Dan hampir terjadi nearnis antara dua pesawat, lion dan lion. Yang lion return to base, RTV ke masing-masing tempat dan dua pesawat divert ke Semarang," imbuhnya.

Ketua Umum PAN ini mengaku belum mengetahui secara pasti penyebab kebakaran pada radar itu. Dia hanya menyarankan agar radar tersebut segera diganti dengan yang lebih modern. "Ini harus diinvestigasi dan saya sudah meminta agar dimodernisir. Karena landing di tempat kita itu sudah sangat padat. Harus triple mungkin untuk menjaga keamanan," jelas dia.

Menhan: Tak Ada Sabotase UPS Bandara Soekarno-Hatta

JAKARTA - Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro mengatakan tidak ada sabotase terkait masalah yang terjadi pada Uninterruptible Power Supply (UPS) milik PT Angkasa Pura (AP) II yang sempat bermasalah dan menggangu sistem radar di Bandara Soekarno Hatta kemarin.  Kerusakan UPS itu menurutnya menimpa radar sekunder.

"Tidak ada sabotase. Radar itu kan dua jenis, radar primer dan sekunder. Kita yang di tentara, pakai radar primer untuk memantau semua penerbangan. Kalau yang di komersil, pakai radar sekunder. Jadi kalau radar sekunder di Menteri Perhubungan," ungkap Purnomo usai mengikuti pelantikan Kepala Staf TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (17/12/2012).

Dia mengakui bahwa radar primer juga mengalami gangguan teknis. Namun untuk memastikan secara jelas pihaknya akan melakukan pengecekan langsung.

"Kalau radar primer di kita, sepertinya itu gangguan teknis saja. Tetapi itu untuk sementara ini pastinya mereka akan lihat nanti," jelas dia.

Ganguan tersebut juga disebabkan karena masalah listrik. "Apalagi kemarin beberapa saat langsung berjalan lagi, listrik kalau ga salah yang bermasalah," imbuhnya.

Sementara kata dia, radar yang digunakan oleh militer sangat tangguh dan sulit untuk disabotase. "Saya dengar sudah ada radar yang baru tetapi belum dipasang. Radar kita primer, itu kan militer, untuk militer lebih tajam," tutupnya.

Sistem Radar Bandara Soekarno Hatta Kembali Normal

TANGERANG- Sistem radar Bandara Soekarno yang sempat padam kini sudah kembali normal.

General Manager ATS Bandara Soekarno Hatta, Budi Hendro mengatakan bahwa padamnya listrik dan mengganggu radar yang terjadi di Bandara Internasional ini hanya terjadi selama 15 menit.

" UPS terbakar sehingga mengganggu suplay listrik ke radar. Tapi ini hanya terjadi 15 menit terputus, memang sempat ada gangguan pelayanan tapi sekarang sudah normal beroperasi," kata Budi saat dihubungi Okezone,  Senin(17/12/2012)

Ditambahkan Budi kondisi ini dapat teratasi dengan sistem manual yang dimiliki sehingga padamnya listrik dapat diantisipasi. 

"Sudah bisa beroperasi, walaupun dengan separasi yang sedikit lebih lama dari biasanya. Normalnya pukul 18.05 WIB kemarin," tegasnya kembali.

Saat ditanya berapa banyak penerbangan yang terganggu selama 15 menit radar mati, Budi belum dapat memberikan data secara detail.

"Saat ini kami masih berupaya menormalkan semuanya, data lengkap berapa banyak penerbangan yang terganggu saat ini masih diinfentarisir," pungkasnya.

Sistem Radar Mati, UPS Milik AP II Ternyata Sudah Uzur

TANGERANG- Uninterruptible Power Supply (UPS) milik PT Angkasa Pura (AP) II yang sempat bermasalah dan menggangu sistem radar di Bandara Soekarno Hatta ternyata sudah berusia tua.

" UPS kita berusia sekitar 20 tahun, tapi kami selalu melakukan maintenance secara berkala dengan baik," kilah Deputi Senior General Manager PT AP II, Prijono Wodjo pada Okezone, Senin (17/12/2012).

Diakui Prijono bahwa UPS bisanya memiliki masa pakai 10-15 tahun, akan tetapi UPS yang kini dipakai AP II sudah berumur sekitar 20 tahun.

" Sebenarnya umur UPS tergantung maintenance , UPS AP II sudah diinstal pada tahun 1992, dan kami terus melakukan maintenance secara berkala," Tuturnya kembali.

Prijo kembali menegaskan bahwa matinya sistem radar kemarin petang tidak ada kaitannya dengan PLN, pasalnya listrik yang dialiri PLN tidak terganggu, akan tetapi UPS milik AP II terbakar.

"Terbakarnya perangkat UPS mengakibatkan gangguan pada sistem pemanduan otomatis JAATS (Jakarta Automated Air Traffic System) dan membuat sistem tidak dapat bekerja selama 15 menit. Sehingga kami melakukan pembatasan jumlah pendaratan dan lepas landas dan melakukan pola pemanduan pesawat secara non radar," paparnya.

Mengingat umur UPS yang sudah uzur, AP II kini sudah memprogramkan pengadaan UPS baru yang dipesan dari Jerman dan saat ini dalam proses pengiriman.

"Nanti pertengahan Januari 2013 diperkirakan akan datang, untuk sementara kami kami akan menggunakan UPS lain untuk memback up," pungkasnya.

UPS Bandara Soetta Jarang Dirawat

JAKARTA - Uninterruptible Power Supply (UPS) di Bandara Soekarno Hatta (Soetta), Cengkareng, yang terbakar pada 16 Desember 2012 lalu ternyata jarang mendapat perawatan. Ketua Asosiasi Power Quality, Pekik Argo Dahono mengatakan, UPS terakhir kali mendapat perawatan pada dua tahun lalu.

"Jujur saja teknisi kita takut untuk mengecek UPS, karena takut rusak. Kalau pengujian tes menyeluruh itu terakhir dilakukan dua tahun yang lalu, dan radarnya dimatikan," kata dia kepada wartawan di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (19/12/2012).

Menurut dia, ketakutan para teknisi bukan tapa alasan mengingat harga UPS tersebut sangat mahal. Namun, jika pengecekan hanya sekedar membersihkan, mengecek perubahan warna, dan suhu UPS itu juga dilakukan sehari sebelum UPS tersebut terbakar.

"(Pemeriksaan rutin) itu sehari sebelumnya juga sudah dilakukan pengecekan," katanya.

Pihaknya, juga sebetulnya sudah mengetahui jika UPS tersebut akan mengalami permasalahan. Namun, petugas tidak bisa berbuat apa-apa mengingat anggaran untuk membeli UPS yang baru tidak ada.

"Bentar lagi trouble, tapi karena duitnya susah, karena belum dianggarkan. Inilah problemnya birokrasi di negara ini, " tegasnya.

Pemeriksaan rutin itu dilakukan seminggu sekali hanya untuk melihat suhu, kebersihan, atau hanya untuk melihat adanya perubahan warna.

UPS Terbakar, Radar Bandara Soekarno-Hatta Terganggu

TANGERANG - Akibat UPS mengalami gangguan, pasokan listrik ke radar Bandara Soekarno-Hatta padam. Akibatkan sempat terjadi hambatan dalam operasional penerbangan dari Bandara Internasional ini.

"Tadi padamnya sekitar pukul 16.55 WIB, tapi saat ini sudah normal. Sehingga memang sempat ada gangguan radar karena tak adanya suplay listrik," kata Corporate Secretary PT Angkasa Pura (AP) II, Trisno Heryadi, saat dihubungi Okezone, Minggu (16/12/2012).

Trisno mengatakan, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan padamnya listrik, seperti koslet ataupun langsung gangguan PLN. "Info yang kami terima UPS Konslet, tapi sudah normal kok," tegasnya.

Dihubungi terpisah, GM ATS Bandara Soekarno Hatta, Budi Hendro mengatakan, padamnya listrik dan mengganggu radar yang terjadi di Bandara Internasional ini hanya terjadi selama 15 menit.

"UPS terbakar sehingga mengganggu suplay listrik ke radar. Tapi ini hanya terjadi 15 menit terputus, memang sempat ada gangguan pelayanan tapi sekarang sudah normal beroperasi," kata Budi.

Gangguan, kata dia, dapat teratasi dengan sistem manual yang dimiliki, sehingga padamnya listrik padat diantisipasi. "Sudah bisa beroperasi, walaupun dengan separasi yang sedikit lebih lama dari biasanya. Normalnya tadi pukul 18.05," tegasnya kembali.

Saat ditanya berapa banyak penerbangan yang terganggu selama 15 menit radar mati, Budi belum dapat memberikan data secara detail. "Saat ini kami masih berupaya menormalkan semuanya, data lengkap berapa banyak penerbangan yang terganggu saat ini masih diinventarisir," pungkasnya.