Flag Counter

Tuesday, September 4, 2012

Mandala Airlines Penerbangan RI 091

Mandala Airlines Penerbangan RI 091 merupakan sebuah pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines yang jatuh di kawasan Padang Bulan, Medan, Indonesia pada 5 September 2005. Kecelakaan ini terjadi saat pesawat sedang lepas landas dari Bandara Polonia Medan.
Pesawat tersebut menerbangi jurusan Medan-Jakarta dan mengangkut 116 orang (111 penumpang dan 5 awak). Sebelumnya diberitakan pesawat tersebut mengangkut 117 orang namun seorang penumpang ketinggalan pesawat. Penumpang yang selamat berjumlah 17 orang dan 44 orang di darat turut menjadi korban.

Menurut dugaan Ketua KNKT Setyo Raharjo, baling-baling kompresor pada mesin
pesawat Mandala Airlines RI-091 rontok saat lepas landas, sehingga pesawat
kehilangan tenaga. Anggota tim ahli dari Amerika Serikat, William Robert
menyatakan, jatuhnya Mandala Airlines RI-091 kemungkinan besar karena kerusakan
mesin.

Tetapi pihak KNKT mengakui kepastian adanya dua ton durian yang terangkut dalam
pesawat nahas itu. Mestinya kargo pesawat tak diperkenankan membawa durian,
apalagi dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan pesawat kelebihan beban.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengatakan, informasi yang
diperoleh dari saksi menjelaskan, begitu Mandala Airlines RI-091 meledak dan
jatuh, durian berceceran di lokasi kejadian. Padahal sebelum melakukan
penerbangan, pilot wajib menandatangani load sheet yang disampaikan pimpinan
kargo. Jika pilot menilai penerbangan tidak memungkinkan, muatan akan
disesuaikan dengan peraturan atau pilot memutuskan untuk membatalkan
penerbangan. Karena itu, patut dicurigai adanya permainan pihak kargo yang
tidak mendata masuknya durian dalam manifes perjalanan pesawat Mandala Airlines
yang nahas itu.

Prioritaskan keselamatan

Pesawat Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Garuda rute Medan - Jakarta,
mendarat darurat di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, Selasa
(6/9), karena mengalami gangguan mesin sebelah kanan. Pada hari yang sama,
Mandala Airlines RI-020 rute Jakarta - Jambi yang sudah mengudara terpaksa
kembali ke Bandara Soekarno - Hatta karena salah satu indikator landing gear
pesawat terus menyala.

Tindakan kedua pilot tersebut patut dijadikan contoh implementasi prinsip
mengutamakan keamanan/keselamatan penerbangan. Selain itu, keputusan landing di
tangan pilot saat cuaca buruk perlu ditinjau kembali. Sebab, tidak semua bandar
udara di Indonesia dilengkapi alat bantu pendaratan (instrument landing
system/ILS) yang memadai untuk membantu pilot. Konsekuensinya, kewenangan untuk
memutuskan pendaratan pesawat dalam cuaca buruk sebaiknya diserahkan kembali
kepada petugas pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Control /ATC).

Dalam dunia penerbangan, ada tiga hal yang saling terkait: keamanan,
keselamatan dan kecelakaan penerbangan. Rendahnya tingkat keamanan dan
keselamatan berakibat terjadinya bencana penerbangan, sehingga keduanya tak
dapat dipisahkan. Dalam kaitan ini, melihat tingginya frekuensi kasus
kecelakaan penerbangan satu tahun terakhir di tanah air maupun temuan dua ton
durian di Mandala Airlines R-091, harus mendorong pihak terkait untuk
mengetatkan pengawasan keselamatan penerbangan (flight safety control) pesawat
komersial.

Perusahaan penerbangan nasional mestinya tetap menempatkan keamanan dan
keselamatan sebagai prioritas utama. Karena hal itu faktor krisis yang
berpotensi mempengaruhi sumberdaya manusia maupun penyediaan anggaran, jangan
sampai menyebabkan pemerintah dan maskapai penerbangan menjadi lengah dalam
pengawasannya. Seperti diakui sejumlah penumpang Mandala Airlines R-091 yang
selamat, sejak awal hendak take off terasa ada kelainan dari getaran badan
pesawat.

Keputusan pembatalan penerbangan (abort take off) memang di tangan pilot ketika
parameter untuk tinggal landas dinilai tak terpenuhi, baik karena kerusakan
sistem pesawat maupun penyebab eksternal. Kegagalan take off Mandala Airlines
R-091, mencuatkan pertanyaan mengapa pilot tidak melakukan abort take off.
Padahal, menurut penerbang uji Marsekal Muda TNI F Djoko Poerwoko, kalau saja
tindakan itu dilakukan, pesawat dan penumpang bisa selamat karena landasan
Bandara Polonia Medan mampu digunakan B 737-200 untuk melakukan abort take off.
Pada 1990-an, F-5 Tiger II TNI AU selamat dengan melakukan abort take off di
Medan pada landasan yang sama (RW-23).

Perang tarif

Industri jasa penerbangan Indonesia memang booming. Ketatnya persaingan, banyak
maskapai penerbangan berlomba memberikan tarif lebih murah. Akibatnya,
perusahaan cenderung mengabaikan berbagai faktor keselamatan yang diperlukan
dalam suatu penerbangan guna memangkas biaya operasi. Karena itu, pemerintah
harus meninjau ulang berbagai peraturan terkait transportasi udara. Pemerintah
perlu menetapkan tarif dasar yang diperbolehkan (floor fare), untuk menjamin
agar perusahaan penerbangan menjaga aspek keselamatan.

Maskapai penerbangan swasta kian banyak dan marak dengan praktik perang tarif
yang seolah tak terhindarkan. Di satu pihak, bisnis jasa penerbangan yang kian
kompetitif ini membuat ketatnya jadwal pilot yang menyebabkan mereka kurang
cukup istirahat. Kondisi tekanan emosional, fisik dan intelektual itu
menyebabkan semua ketelitian dalam mengikuti standard operating procedure bisa
saja terabaikan. Tetapi di lain pihak, penumpang juga berhak merasa aman dan
nyaman sejak dini hingga sampai tujuan, karena bagi mereka kenyamanan dan
keselamatan adalah segalanya. Bahkan sebenarnya justru jauh lebih penting
dibanding tarif murah yang ditawarkan maskapai penerbangan.

Lebih baik tarif tidak diturunkan, tetapi perusahaan penerbangan menjamin
keselamatan setinggi-tingginya agar penerbangan Indonesia bisa mengembalikan
kepercayaan publik untuk menggunakan jasa angkutan udara. Atau, perusahaan
bersangkutan harus membuktikan tiket murah bukan berarti tidak aman.

Mandala Airlines harus membuktikan, tragedi pesawat di Medan itu bukan
kesalahan pihak penerbangan. Bila tidak dapat membuktikan, maka Mandala
Airlines bisa digugat atas kecelakaan yang terjadi. Dalam pembuktian terbalik
ini, pelaku usaha wajib membuktikan pihaknya tak bersalah sesuai Pasal 28 UU
Konsumen, sementara konsumen wajib menyatakan kerugian yang diderita. Tragedi
Mandala Airlines R-091 harus mendorong manajemen Mandala Airlines segera
berbenah diri untuk meraih kembali kepercayaan publik.

Kelayakan dan pengawasan

Perusahaan jasa angkutan udara harus bisa menjamin, bahwa di samping
penerbangan bertarif murah, keselamatan penumpang tetap merupakan prioritas
tertinggi dan yang paling penting. Maskapai penerbangan mestinya memiliki
komitmen kuat terhadap keselamatan penumpang. Segeralah maskapai penerbangan
mengembalikan kepercayaan publik tentang kelaikan terbang pesawat miliknya,
menjelaskan usia pesawat dan proses perawatannya. Pesawat baru yang tidak
dirawat baik oleh teknisi yang berkompeten, bisa menimbulkan masalah. Pesawat
tua (50 tahun/terbang lebih dari 50 ribu kali), tinggi risiko kecelakaannya.
Maka, impor pesawat tua harus dilarang pemerintah.

Selain itu, perusahaan penerbangan lebih baik mengumumkan status kelayakan
armadanya kepada publik. Dalam hal ini pemerintah selaku pemberi izin
kelayakan, perlu dilibatkan. Seharusnya ada tanda khusus kelayakan pada armada
penerbangan yang mudah dilihat calon penumpang, sehingga publik pengguna
jasanya tak perlu was-was. Sekali setahun pemerintah melalui Dinas Perhubungan
melakukan pemeriksaan untuk menyatakan pesawat komersial layak operasional atau
tidak. Hanya masalahnya, apakah proses pemeriksaan berjalan sesuai ketentuan?
Pemerintah juga harus mengawasi perusahaan penerbangan secara ketat. Misalnya,
jika pengusaha membeli pesawat terbang, maka pemerintah harus mengetahui dari
negara mana pesawat dibeli, tahun berapa, dan bagaimana kapasitasnya. Bahkan
harus jelas, pesawat itu baru atau bekas.

Pascatragedi Mandala Airlines, pemerintah berencana membentuk tim audit
independen untuk melakukan audit terhadap seluruh maspakai penerbangan nasional
guna melihat kelaikan pesawat yang dioperasikan. Sehubungan rencana ini,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2005 sebaiknya dibatalkan, karena
peraturan ini membatasi layak operasi pesawat terbang komersial sampai 35 tahun
dan 70.000 flight cycle. Padahal, di daerah beriklim tropis dan kepulauan,
faktor korosi dan kelelahan fisik pesawat lebih besar kemungkinannya terjadi,
sehingga meningkatkan risiko kecelakaan. Untuk pesawat keluaran 1981 seperti
Boeing 737-200 dari Mandala Airlines R-091 yang meledak itu, batas usia
ekonomisnya adalah 2001. Ketetapan peraturan batas kelayakan operasi pesawat
komersial hendaknya mengikuti standar yang diakui internasional, seperti dari
International Civil Aviation Organization (ICAO).

Departemen Perhubungan harus mengetatkan pengawasan terhadap maskapai
penerbangan nasional. Evaluasi berkala dan terjadwal perlu dilakukan, terutama
terhadap unsur keselamatan penerbangan, mulai dari kelaikan bandara hingga
armada, termasuk kru pesawat. Ketatkan pengawasan terhadap operator dan
pengelola bandara untuk menjamin keamanan/keselamatan penerbangan. Pemerintah
bisa membuat peraturan yang --misalnya-- mengharuskan perusahaan menjalani
pemeriksaan rutin atas armada penerbangannya. Karena infrastruktur sektor
penerbangan kini belum memadai, maka pemerintah harus membenahi infrastruktur
industri penerbangan. Masih banyak dibutuhkan perbaikan dalam segi
infrastruktur bandar udara, apalagi banyak prasarana bandar udara nasional yang
belum memenuhi tuntutan kebutuhan pesawat berbadan besar.

No comments:

Post a Comment