Flag Counter

Saturday, December 17, 2011

Bahasa Belanda Tidak Laku di Nusantara

Orang Indonesia selalu bangga punya satu bahasa sebagai bahasa nasional. Bahasa ini bukan warisan bangsa penjajah. Mungkin ada orang Indonesia bertanya mengapa berlainan dengan Spanyol, Portugal, Prancis atau Inggris di bekas jajahan mereka, Belanda tidak memberlakukan bahasanya di Nusantara? 

Rasanya seperti ada sesuatu yang terlewat pada setiap bulan bahasa, sebagai bagian ritual mengenang heroiknya Sumpah Pemuda. Itulah mengajukan dan berupaya mencari jawaban terhadap sebuah pertanyaan penting: mengapa penjajah Belanda dulu tidak mewajibkan warga Nusantara berbahasa Belanda? Bukankah di Filipina, Spanyol memberlakukan bahasa mereka, seperti juga Portugal di Timor Lorosa’e?

Tak berwawasan

Kekuatan kolonial Eropa lain: Inggris, Prancis, Spanyol dan Portugal, memang selalu membuat wilayah jajahan mereka juga berbahasa penjajah. Bahasa-bahasa Inggris, Prancis, Portugis dan Spanyol bukan saja menjadi bahasa pemerintahan di Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin, tetapi juga merupakan bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah pada belahan dunia itu.

Alhasil ketika kolonialisme berakhir, negara-negara yang merdeka dari jajahan Inggris, Prancis, Portugal dan Spanyol tetap menggunakan bahasa (bekas) penjajah sebagai bahasa nasional. Atau, walaupun sudah punya bahasa nasional seperti Maroko atau Aljazair yang berbahasa Arab, Bahasa Prancis seolah merupakan bahasa nasional kedua yang sekaligus merupakan bahasa penghubung dengan dunia internasional.

Mengapa penjajah Belanda tidak berbuat serupa di Indonesia? Jawabannya panjang dan rumit, serta bergantung dari zamannya. Kalau harus disingkat dan dipermudah mungkin bisa dikatakan itulah watak orang Belanda. Orang Belanda dikenal kikir, tidak suka membuang kebiasaan (apalagi kebiasaan yang murah) dan, dalam soal bahasa ini, mereka juga tidak terlalu punya wawasan masa depan.

Kalau Indonesia juga berbahasa Belanda, maka sekarang bahasa ini akan digunakan oleh nyaris 300 juta orang, sementara sekarang tidak sampai 100 juta orang. Watak tak berwawasan ini akhirnya memang menguntungkan kita. Ketika menjadi Indonesia (harus diakui ini berkat Belanda) kita akhirnya berbahasa Indonesia, tidak berbahasa Belanda.

Dialek kreol

Satu hal penting perlu ditegaskan, Belanda mulai menguasai Nusantara sebagai sebuah perusahaan dagang multinasional: VOC. Sebagai perusahaan, VOC jelas hanya memburu laba yang dilakukannya melalui monopoli serta kekerasan.

Perusahaan multi nasional pertama ini tidak merasa perlu membahasabelandakan wilayah-wilayah yang dikuasainya. Langkah ini pasti butuh biaya besar yang jelas akan mengurangi laba. Karena itu tetap digunakan bahasa setempat atau bahasa Melajoe, toh bahasa ini sudah lama merupakan lingua franca (bahasa pengantar) kepulauan Nusantara.

Ini berarti bahwa bahasa Belanda harus bisa bersaing dengan bahasa-bahasa yang sudah ada di Nusantara. Selain bahasa Melajoe dan bahasa daerah yang begitu banyak, pada zaman VOC itu, bahasa Portugis juga banyak digunakan.

Menurut Lilie Suratminto, dosen dan peneliti bahasa Universitas Indonesia, orang Portugis sudah 100 tahun lebih awal tiba di Nusantara ketimbang Belanda. Jadi, selain bahasa Melajoe, bahasa Portugis juga banyak dipakai, terutama di Batavia dan Ambon. Tentu saja bahasa Portugis ini berbeda dengan yang ada di Portugal, karena bahasa ini adalah dialek kreolnya.

Sebenarnya, dalam soal bahasa, VOC sudah mengambil langkah-langkah tertentu yang bertujuan memperluas penyebaran bahasa Belanda. Di Maluku dibuka sekolah dalam bahasa Belanda, selain itu pada pelbagai gereja protestan juga berlangsung kebaktian dalam bahasa Belanda. Tapi ternyata bahasa Belanda tidak juga memasyarakat di Maluku. Di luar sekolah, anak-anak tetap berbahasalokal dan dan pengunjung gereja berbahasa Belanda tetap itu-itu saja, jumlah mereka tidak bertambah.

Alhasil ketika pada awal abad 19 VOC bangkrut, bahasa Belanda di Nusantara tidak mengalami kemajuan. Jangankan bahasa pengantar, jumlah orang berbahasa Belanda waktu itu juga tidak mengalami peningkatan. Dengan begitu, langkah-langkah yang ditempuh VOC di bidang bahasa jelas telah gagal.

Bahasa ekslusif


Setelah VOC bangkrut, Nusantara diambil alih oleh pemerintah Belanda, lahirnya Hindia Belanda pada abad 19. Memang Inggris sempat memerintah, tetapi begitu Nusantara kembali ke tangan Belanda, tidak ada terobosan terhadap politik bahasa VOC yang gagal itu.
Bahasa Belanda tetap ekslusif, tidak dibuka untuk umum. Para peneliti bahasa melihat paling sedikit ada dua sebab. Pertama Belanda takut munculnya semacam bentuk dialek bahasa mereka di Nusantara. Ini sudah terjadi dengan bahasa Portugis yang digunakan di Batavia misalnya.

Mereka yang berbahasa Portugis itu tidak merasa terikat dengan Portugal. Padahal Belanda ingin supaya mereka yang bisa berbahasa Belanda tetap setia pada mereka.

Kedua penguasaan bahasa Belanda oleh massa rakyat, terutama kalangan yang tidak beragama Nasrani, dianggap berbahaya. Karena itu politik bahasa pemerintah Hindia Belanda pada Abad 19 itu hanya diarahkan pada warga kulit putih dan tidak kepada massa rakyat Nusantara.

Bahkan pada tahun 1864 diputuskan untuk tidak lagi mengupayakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di Nusantara, menggantikan bahasa Melajoe. Bahasa Belanda hanya diajarkan di sekolah-sekolah Belanda yang juga menerima sedikit murid elit pribumi, yaitu kalangan ningrat.

Sebaliknya, orang-orang Belanda yang berniat meniti karier di Hindia Belanda diwajibkan fasih berbahasa Melajoe, syukur-syukur kalau menguasai salah satu bahasa daerah.

Pada awal abad 20 Belanda mengubah politik kolonialnya, ketika memberlakukan apa yang disebut Politik Etis. Bertujuan untuk mendidik dan mengangkat martabat pribumi Inlanders, zaman ini ditandai dengan dibukanya pelbagai lembaga pendidikan. Bahasa Belanda menjadi salah satu mata pelajaran wajib. Apakah itu berarti peningkatan jumlah orang yang fasih berbahasa Belanda?

Jawabannya bisa diikuti pada bagian kedua, minggu depan.


source: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/bahasa-belanda-tidak-laku-di-nusantara
 

No comments:

Post a Comment