KOMPAS.com - Tepuk tangan membahana tatkala Direktur Utama Lion Air Rusdi Kirana
menuruni tangga pesawat di apron Bandar Udara Blagnac Toulouse,
Perancis, Senin (18/3/2013). Sejumlah 320 karyawan Airbus berdiri
menyambut di samping pesawat Airbus A320 berlogo Lion Air. Di badan
pesawatnya bertuliskan ”thankyou!”.
Seremoni sore itu kian meriah sewaktu CEO Airbus Fabrice Brégier merangkul Rusdi, lantas berfoto bersama di depan pesawat. Logo ”Lion Air Thankyou” di pesawat itu sengaja diciptakan untuk menyambut kedatangan direksi Lion Air di markas Airbus di Toulouse.
Hari itu fenomenal dalam sejarah Airbus A320, yang pada 22 Maret 2013 merayakan ulang tahun ke-25. Sebanyak 234 pesawat Airbus A320 dan A321 dipesan oleh Lion Air, dengan nilai kontrak 24 miliar dollar AS atau sekitar Rp 233 triliun.
Penandatanganan jual beli dilakukan di Istana Kepresidenan Perancis, The Elysee Palace, di Paris, disaksikan Presiden Perancis François Hollande. Dalam pidato yang cukup panjang, Hollande menyampaikan terima kasih dan penghargaan. Kontrak pemesanan pesawat yang terbesar dalam sejarah penerbangan sipil di Perancis itu akan menyerap 5.000 tenaga kerja dalam kurun 10 tahun ke depan.
Airbus merupakan industri pesawat milik konsorsium negara Eropa yang bermarkas di Toulouse. Airbus menggabungkan komponen yang dipasok dari beberapa negara di Eropa. ”Kerja sama ini kebanggaan, tidak hanya bagi Perancis, tetapi juga Eropa,” ujar Hollande.
Lion Air menjadi klien baru Airbus setelah selama ini menggunakan Boeing, pesaing utama Airbus asal Amerika Serikat. Kontrak pembelian pesawat Airbus yang akan tuntas dipasok tahun 2026 itu hampir seluruhnya menggunakan pinjaman luar negeri, yakni minimal 85 persen dari lembaga kredit ekspor (ECA) di Jerman, Perancis, dan Inggris, dan sisanya sindikasi.
”Hampir tidak ada modal dari Lion Air. Bisnis ini modalnya kepercayaan, mereka melihat track record kita,” ujar Rusdi.
Pembelian pesawat dalam jumlah besar itu diyakini akan memperkuat kiprah Lion Air dalam ekspansi bisnis di Asia Pasifik. Seluruh pinjaman untuk pembelian pesawat Airbus itu ditargetkan lunas dalam kurun 10-12 tahun mendatang.
”Kita bicara teknologi yang sekarang, perawatan pesawat lebih murah, bahan bakar lebih efisien, dan pasar juga lebih bagus,” ujar Rusdi.
Lion Air sebelumnya juga mengejutkan. November 2011, maskapai dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia itu membeli 230 pesawat Boeing 737 berbagai seri senilai 21,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 195 triliun. Penandatanganan dilakukan Rusdi Kirana dan CEO Boeing Jim Albaugh di Nusa Dua, Bali, disaksikan Presiden AS Barack Obama.
Lion Air milik Rusdi Kirana dan kakaknya, Kusnan Kirana, sejak 2000 hingga kini telah memesan 727 pesawat. Sudah 100 pesawat Lion Air yang beroperasi. Lion Air berniat memiliki 1.000 pesawat tahun 2027.
Tumbuh tinggi
Ekspansi Lion Air ini, ujar Rusdi, karena harus merespons tingginya pertumbuhan pasar penerbangan di Asia Pasifik. Apalagi, tahun 2015 kebijakan ”open sky” diterapkan di ASEAN, yang memungkinkan konsumen punya banyak pilihan penerbangan. Pasar domestik dengan penduduk 245 juta orang juga akan terus digenjot.
Pertumbuhan pasar di Asia Pasifik yang sangat tinggi diungkapkan oleh Chief Operating Officer Customer Airbus John Leahy. Jika pertumbuhan pasar penerbangan di dunia mencapai dua kali lipat dalam setiap kurun 15 tahun, pasar Asia Pasifik bisa tumbuh dua kali lipat dalam setiap kurun 10 tahun. Karakter ini dipicu oleh penerbangan berbiaya murah.
Airbus mencatat permintaan maskapai penerbangan di Asia Pasifik yang sangat besar, pada saat bersamaan, backlog (kekurangan) pemenuhan juga besar. Untuk jenis A320, misalnya, dari jumlah pesanan 9.390 unit, baru bisa terpenuhi 5.467 unit.
Menurut Rusdi, fokus pengembangan bisnis Lion Air ke luar negeri dilakukan dengan membuat penerbangan baru maupun membangun maskapai baru di luar negeri dengan cara akuisisi atau membentuk baru. Beberapa negara tetangga yang potensial adalah Myanmar, Thailand, dan Vietnam.
Lion Air saat ini telah memiliki Maskapai Malindo Airways di Malaysia, perusahaan patungan dengan Malaysia, yang terbang perdana 22 Maret 2013. Beberapa destinasi antara lain Kinabalu (Malaysia), New Delhi, Dhaka, Kanton, dan Hongkong.
Bulan depan, Lion Air juga akan mengoperasikan pesawat layanan penuh (full service), Batik Air. Segmentasi pasar tetap akan dilakukan sesuai dengan target pasar. Untuk Thailand, misalnya, potensi tinggi dalam bisnis penerbangan biaya murah, sedangkan Australia untuk penerbangan layanan penuh.
Usaha membesarkan bisnis penerbangan haruslah bernilai tambah dan mendatangkan devisa ke dalam negeri. Pelebaran sayap usaha, lanjut Rusdi, tidak sekadar membeli pesawat.
Airbus telah sepakat memberikan pelatihan pilot dan teknisi di pusat training milik Lion di Cirebon dan Palangkaraya. ”Sebagai pembeli terbesar dari Airbus, kita punya power untuk melobi, dan mereka (Airbus) sangat kooperatif,” ujarnya.
Untuk perawatan, pihak Lion Air sedang membangun bengkel pesawat di lahan 16 hektar yang disewa dari Badan Otoritas Batam.
Seremoni sore itu kian meriah sewaktu CEO Airbus Fabrice Brégier merangkul Rusdi, lantas berfoto bersama di depan pesawat. Logo ”Lion Air Thankyou” di pesawat itu sengaja diciptakan untuk menyambut kedatangan direksi Lion Air di markas Airbus di Toulouse.
Hari itu fenomenal dalam sejarah Airbus A320, yang pada 22 Maret 2013 merayakan ulang tahun ke-25. Sebanyak 234 pesawat Airbus A320 dan A321 dipesan oleh Lion Air, dengan nilai kontrak 24 miliar dollar AS atau sekitar Rp 233 triliun.
Penandatanganan jual beli dilakukan di Istana Kepresidenan Perancis, The Elysee Palace, di Paris, disaksikan Presiden Perancis François Hollande. Dalam pidato yang cukup panjang, Hollande menyampaikan terima kasih dan penghargaan. Kontrak pemesanan pesawat yang terbesar dalam sejarah penerbangan sipil di Perancis itu akan menyerap 5.000 tenaga kerja dalam kurun 10 tahun ke depan.
Airbus merupakan industri pesawat milik konsorsium negara Eropa yang bermarkas di Toulouse. Airbus menggabungkan komponen yang dipasok dari beberapa negara di Eropa. ”Kerja sama ini kebanggaan, tidak hanya bagi Perancis, tetapi juga Eropa,” ujar Hollande.
Lion Air menjadi klien baru Airbus setelah selama ini menggunakan Boeing, pesaing utama Airbus asal Amerika Serikat. Kontrak pembelian pesawat Airbus yang akan tuntas dipasok tahun 2026 itu hampir seluruhnya menggunakan pinjaman luar negeri, yakni minimal 85 persen dari lembaga kredit ekspor (ECA) di Jerman, Perancis, dan Inggris, dan sisanya sindikasi.
”Hampir tidak ada modal dari Lion Air. Bisnis ini modalnya kepercayaan, mereka melihat track record kita,” ujar Rusdi.
Pembelian pesawat dalam jumlah besar itu diyakini akan memperkuat kiprah Lion Air dalam ekspansi bisnis di Asia Pasifik. Seluruh pinjaman untuk pembelian pesawat Airbus itu ditargetkan lunas dalam kurun 10-12 tahun mendatang.
”Kita bicara teknologi yang sekarang, perawatan pesawat lebih murah, bahan bakar lebih efisien, dan pasar juga lebih bagus,” ujar Rusdi.
Lion Air sebelumnya juga mengejutkan. November 2011, maskapai dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia itu membeli 230 pesawat Boeing 737 berbagai seri senilai 21,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 195 triliun. Penandatanganan dilakukan Rusdi Kirana dan CEO Boeing Jim Albaugh di Nusa Dua, Bali, disaksikan Presiden AS Barack Obama.
Lion Air milik Rusdi Kirana dan kakaknya, Kusnan Kirana, sejak 2000 hingga kini telah memesan 727 pesawat. Sudah 100 pesawat Lion Air yang beroperasi. Lion Air berniat memiliki 1.000 pesawat tahun 2027.
Tumbuh tinggi
Ekspansi Lion Air ini, ujar Rusdi, karena harus merespons tingginya pertumbuhan pasar penerbangan di Asia Pasifik. Apalagi, tahun 2015 kebijakan ”open sky” diterapkan di ASEAN, yang memungkinkan konsumen punya banyak pilihan penerbangan. Pasar domestik dengan penduduk 245 juta orang juga akan terus digenjot.
Pertumbuhan pasar di Asia Pasifik yang sangat tinggi diungkapkan oleh Chief Operating Officer Customer Airbus John Leahy. Jika pertumbuhan pasar penerbangan di dunia mencapai dua kali lipat dalam setiap kurun 15 tahun, pasar Asia Pasifik bisa tumbuh dua kali lipat dalam setiap kurun 10 tahun. Karakter ini dipicu oleh penerbangan berbiaya murah.
Airbus mencatat permintaan maskapai penerbangan di Asia Pasifik yang sangat besar, pada saat bersamaan, backlog (kekurangan) pemenuhan juga besar. Untuk jenis A320, misalnya, dari jumlah pesanan 9.390 unit, baru bisa terpenuhi 5.467 unit.
Menurut Rusdi, fokus pengembangan bisnis Lion Air ke luar negeri dilakukan dengan membuat penerbangan baru maupun membangun maskapai baru di luar negeri dengan cara akuisisi atau membentuk baru. Beberapa negara tetangga yang potensial adalah Myanmar, Thailand, dan Vietnam.
Lion Air saat ini telah memiliki Maskapai Malindo Airways di Malaysia, perusahaan patungan dengan Malaysia, yang terbang perdana 22 Maret 2013. Beberapa destinasi antara lain Kinabalu (Malaysia), New Delhi, Dhaka, Kanton, dan Hongkong.
Bulan depan, Lion Air juga akan mengoperasikan pesawat layanan penuh (full service), Batik Air. Segmentasi pasar tetap akan dilakukan sesuai dengan target pasar. Untuk Thailand, misalnya, potensi tinggi dalam bisnis penerbangan biaya murah, sedangkan Australia untuk penerbangan layanan penuh.
Usaha membesarkan bisnis penerbangan haruslah bernilai tambah dan mendatangkan devisa ke dalam negeri. Pelebaran sayap usaha, lanjut Rusdi, tidak sekadar membeli pesawat.
Airbus telah sepakat memberikan pelatihan pilot dan teknisi di pusat training milik Lion di Cirebon dan Palangkaraya. ”Sebagai pembeli terbesar dari Airbus, kita punya power untuk melobi, dan mereka (Airbus) sangat kooperatif,” ujarnya.
Untuk perawatan, pihak Lion Air sedang membangun bengkel pesawat di lahan 16 hektar yang disewa dari Badan Otoritas Batam.
No comments:
Post a Comment