Mandala Airlines Penerbangan RI 091 merupakan sebuah pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines yang jatuh di kawasan Padang Bulan, Medan, Indonesia pada 5 September 2005. Kecelakaan ini terjadi saat pesawat sedang lepas landas dari Bandara Polonia Medan.
Pesawat tersebut menerbangi jurusan Medan-Jakarta
dan mengangkut 116 orang (111 penumpang dan 5 awak). Sebelumnya
diberitakan pesawat tersebut mengangkut 117 orang namun seorang
penumpang ketinggalan pesawat. Penumpang yang selamat berjumlah 17
orang dan 44 orang di darat turut menjadi korban.
Menurut dugaan Ketua KNKT Setyo Raharjo, baling-baling kompresor pada mesin pesawat Mandala Airlines RI-091 rontok saat lepas landas, sehingga pesawat kehilangan tenaga. Anggota tim ahli dari Amerika Serikat, William Robert menyatakan, jatuhnya Mandala Airlines RI-091 kemungkinan besar karena kerusakan mesin. Tetapi pihak KNKT mengakui kepastian adanya dua ton durian yang terangkut dalam pesawat nahas itu. Mestinya kargo pesawat tak diperkenankan membawa durian, apalagi dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan pesawat kelebihan beban. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengatakan, informasi yang diperoleh dari saksi menjelaskan, begitu Mandala Airlines RI-091 meledak dan jatuh, durian berceceran di lokasi kejadian. Padahal sebelum melakukan penerbangan, pilot wajib menandatangani load sheet yang disampaikan pimpinan kargo. Jika pilot menilai penerbangan tidak memungkinkan, muatan akan disesuaikan dengan peraturan atau pilot memutuskan untuk membatalkan penerbangan. Karena itu, patut dicurigai adanya permainan pihak kargo yang tidak mendata masuknya durian dalam manifes perjalanan pesawat Mandala Airlines yang nahas itu. Prioritaskan keselamatan Pesawat Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Garuda rute Medan - Jakarta, mendarat darurat di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, Selasa (6/9), karena mengalami gangguan mesin sebelah kanan. Pada hari yang sama, Mandala Airlines RI-020 rute Jakarta - Jambi yang sudah mengudara terpaksa kembali ke Bandara Soekarno - Hatta karena salah satu indikator landing gear pesawat terus menyala. Tindakan kedua pilot tersebut patut dijadikan contoh implementasi prinsip mengutamakan keamanan/keselamatan penerbangan. Selain itu, keputusan landing di tangan pilot saat cuaca buruk perlu ditinjau kembali. Sebab, tidak semua bandar udara di Indonesia dilengkapi alat bantu pendaratan (instrument landing system/ILS) yang memadai untuk membantu pilot. Konsekuensinya, kewenangan untuk memutuskan pendaratan pesawat dalam cuaca buruk sebaiknya diserahkan kembali kepada petugas pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Control /ATC). Dalam dunia penerbangan, ada tiga hal yang saling terkait: keamanan, keselamatan dan kecelakaan penerbangan. Rendahnya tingkat keamanan dan keselamatan berakibat terjadinya bencana penerbangan, sehingga keduanya tak dapat dipisahkan. Dalam kaitan ini, melihat tingginya frekuensi kasus kecelakaan penerbangan satu tahun terakhir di tanah air maupun temuan dua ton durian di Mandala Airlines R-091, harus mendorong pihak terkait untuk mengetatkan pengawasan keselamatan penerbangan (flight safety control) pesawat komersial. Perusahaan penerbangan nasional mestinya tetap menempatkan keamanan dan keselamatan sebagai prioritas utama. Karena hal itu faktor krisis yang berpotensi mempengaruhi sumberdaya manusia maupun penyediaan anggaran, jangan sampai menyebabkan pemerintah dan maskapai penerbangan menjadi lengah dalam pengawasannya. Seperti diakui sejumlah penumpang Mandala Airlines R-091 yang selamat, sejak awal hendak take off terasa ada kelainan dari getaran badan pesawat. Keputusan pembatalan penerbangan (abort take off) memang di tangan pilot ketika parameter untuk tinggal landas dinilai tak terpenuhi, baik karena kerusakan sistem pesawat maupun penyebab eksternal. Kegagalan take off Mandala Airlines R-091, mencuatkan pertanyaan mengapa pilot tidak melakukan abort take off. Padahal, menurut penerbang uji Marsekal Muda TNI F Djoko Poerwoko, kalau saja tindakan itu dilakukan, pesawat dan penumpang bisa selamat karena landasan Bandara Polonia Medan mampu digunakan B 737-200 untuk melakukan abort take off. Pada 1990-an, F-5 Tiger II TNI AU selamat dengan melakukan abort take off di Medan pada landasan yang sama (RW-23). Perang tarif Industri jasa penerbangan Indonesia memang booming. Ketatnya persaingan, banyak maskapai penerbangan berlomba memberikan tarif lebih murah. Akibatnya, perusahaan cenderung mengabaikan berbagai faktor keselamatan yang diperlukan dalam suatu penerbangan guna memangkas biaya operasi. Karena itu, pemerintah harus meninjau ulang berbagai peraturan terkait transportasi udara. Pemerintah perlu menetapkan tarif dasar yang diperbolehkan (floor fare), untuk menjamin agar perusahaan penerbangan menjaga aspek keselamatan. Maskapai penerbangan swasta kian banyak dan marak dengan praktik perang tarif yang seolah tak terhindarkan. Di satu pihak, bisnis jasa penerbangan yang kian kompetitif ini membuat ketatnya jadwal pilot yang menyebabkan mereka kurang cukup istirahat. Kondisi tekanan emosional, fisik dan intelektual itu menyebabkan semua ketelitian dalam mengikuti standard operating procedure bisa saja terabaikan. Tetapi di lain pihak, penumpang juga berhak merasa aman dan nyaman sejak dini hingga sampai tujuan, karena bagi mereka kenyamanan dan keselamatan adalah segalanya. Bahkan sebenarnya justru jauh lebih penting dibanding tarif murah yang ditawarkan maskapai penerbangan. Lebih baik tarif tidak diturunkan, tetapi perusahaan penerbangan menjamin keselamatan setinggi-tingginya agar penerbangan Indonesia bisa mengembalikan kepercayaan publik untuk menggunakan jasa angkutan udara. Atau, perusahaan bersangkutan harus membuktikan tiket murah bukan berarti tidak aman. Mandala Airlines harus membuktikan, tragedi pesawat di Medan itu bukan kesalahan pihak penerbangan. Bila tidak dapat membuktikan, maka Mandala Airlines bisa digugat atas kecelakaan yang terjadi. Dalam pembuktian terbalik ini, pelaku usaha wajib membuktikan pihaknya tak bersalah sesuai Pasal 28 UU Konsumen, sementara konsumen wajib menyatakan kerugian yang diderita. Tragedi Mandala Airlines R-091 harus mendorong manajemen Mandala Airlines segera berbenah diri untuk meraih kembali kepercayaan publik. Kelayakan dan pengawasan Perusahaan jasa angkutan udara harus bisa menjamin, bahwa di samping penerbangan bertarif murah, keselamatan penumpang tetap merupakan prioritas tertinggi dan yang paling penting. Maskapai penerbangan mestinya memiliki komitmen kuat terhadap keselamatan penumpang. Segeralah maskapai penerbangan mengembalikan kepercayaan publik tentang kelaikan terbang pesawat miliknya, menjelaskan usia pesawat dan proses perawatannya. Pesawat baru yang tidak dirawat baik oleh teknisi yang berkompeten, bisa menimbulkan masalah. Pesawat tua (50 tahun/terbang lebih dari 50 ribu kali), tinggi risiko kecelakaannya. Maka, impor pesawat tua harus dilarang pemerintah. Selain itu, perusahaan penerbangan lebih baik mengumumkan status kelayakan armadanya kepada publik. Dalam hal ini pemerintah selaku pemberi izin kelayakan, perlu dilibatkan. Seharusnya ada tanda khusus kelayakan pada armada penerbangan yang mudah dilihat calon penumpang, sehingga publik pengguna jasanya tak perlu was-was. Sekali setahun pemerintah melalui Dinas Perhubungan melakukan pemeriksaan untuk menyatakan pesawat komersial layak operasional atau tidak. Hanya masalahnya, apakah proses pemeriksaan berjalan sesuai ketentuan? Pemerintah juga harus mengawasi perusahaan penerbangan secara ketat. Misalnya, jika pengusaha membeli pesawat terbang, maka pemerintah harus mengetahui dari negara mana pesawat dibeli, tahun berapa, dan bagaimana kapasitasnya. Bahkan harus jelas, pesawat itu baru atau bekas. Pascatragedi Mandala Airlines, pemerintah berencana membentuk tim audit independen untuk melakukan audit terhadap seluruh maspakai penerbangan nasional guna melihat kelaikan pesawat yang dioperasikan. Sehubungan rencana ini, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2005 sebaiknya dibatalkan, karena peraturan ini membatasi layak operasi pesawat terbang komersial sampai 35 tahun dan 70.000 flight cycle. Padahal, di daerah beriklim tropis dan kepulauan, faktor korosi dan kelelahan fisik pesawat lebih besar kemungkinannya terjadi, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan. Untuk pesawat keluaran 1981 seperti Boeing 737-200 dari Mandala Airlines R-091 yang meledak itu, batas usia ekonomisnya adalah 2001. Ketetapan peraturan batas kelayakan operasi pesawat komersial hendaknya mengikuti standar yang diakui internasional, seperti dari International Civil Aviation Organization (ICAO). Departemen Perhubungan harus mengetatkan pengawasan terhadap maskapai penerbangan nasional. Evaluasi berkala dan terjadwal perlu dilakukan, terutama terhadap unsur keselamatan penerbangan, mulai dari kelaikan bandara hingga armada, termasuk kru pesawat. Ketatkan pengawasan terhadap operator dan pengelola bandara untuk menjamin keamanan/keselamatan penerbangan. Pemerintah bisa membuat peraturan yang --misalnya-- mengharuskan perusahaan menjalani pemeriksaan rutin atas armada penerbangannya. Karena infrastruktur sektor penerbangan kini belum memadai, maka pemerintah harus membenahi infrastruktur industri penerbangan. Masih banyak dibutuhkan perbaikan dalam segi infrastruktur bandar udara, apalagi banyak prasarana bandar udara nasional yang belum memenuhi tuntutan kebutuhan pesawat berbadan besar.