MANOKWARI, KOMPAS.com - Keberadaan bandar udara peritis di Papua Barat masih jadi tumpuan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan atau terisolasi jalur darat. Sayangnya, sejumlah bandara itu tidak berfungsi lagi karena tidak ada rute penerbangannya.
Menurut Kepala Bidang Perhubungan Udara Dinas Perhubungan Papua Barat Maryanto, Kamis (24/11/2011), dari 38 bandara ada 7 bandara perintis yang sudah tidak berfungsi lagi, dan sekitar 10 bandara yang jarang difungsikan.
"Bandara jadi fasilitas prasarana transportasi udara yang paling dibutuhkan. Tapi, banyak bandara yang tidak dipakai lagi karena tidak ada lagi maskapai penerbangan yang buka rute di sana," ujar Maryanto.
Tujuh bandara yang tidak lagi berfungsi adalah Bandara Jefman, Suswa, dan Ayata di Kabupaten Sorong, Fruta di Teluk Bintuni, Pulau Gak di Raja Ampat, dan Karas di Fakfak. Sedangkan yang sudah jarang digunakan adalah Bandara Sururey, Minyambauw, Testega, Taige, Hink, Catubauw di Kabupaten Manokwari, Beimes di Teluk Bintuni, dan Mouyeba di Sorong.
Tidak berfungsinya bandara itu karena tidak ada lagi pesawat yang mendarat di sana. Dulu, lapangan udara dibuat guna memudahkan misionaris menyebarkan agama dan berkegiatan sosial. Setelah misi mereka selesai, tak ada lagi pesawat yang mendarat, kecuali khusus disewa (charter). Ada juga lapangan udara yang tak bisa dikembangkan karena lahannya sempit dan terbatas.
"Penduduk di Papua butuh pesawat untuk akses transportasi," tambahnya.
Meski sebagian bandara hilang, tapi ada beberapa bandara baru yang dibuat. Di Raja Ampat, dibangun bandara Waisai yang rencananya 2012 akan uji terbang. Tahun depan juga, kata Maryanto, ada bandara di Saukorem, Manokwari. Pembangunan bandara-bandara baru itu menggunakan dana APBN.
No comments:
Post a Comment