KOMPAS.com - Proyek pembangunan Bandar Udara
Internasional Kualanamu, Sumatera Utara, sudah memasuki tahun keenam.
Penyelesaian proyek yang semula ditargetkan tuntas akhir tahun 2012,
beberapa kali diundur. Belum jelas, kapan bandara baru pengganti Bandara
Internasional Polonia, Medan, ini mulai beroperasi.
Hingga pekan ini, penyelesaian fisik bandara sudah rampung 94,97 persen. Proyek sektor privat yang dibangun oleh pengelola bandara, PT Angkasa Pura II, masih dalam tahap penyelesaian, antara lain stasiun kereta api, gedung administrasi, perkantoran kargo, masjid, dan gedung peralatan (AME). Adapun terminal penumpang dan stasiun pengisian bahan bakar sudah tuntas.
Pembangunan sektor publik, seperti landasan pacu (runway), jalur parkir (taxiway), parkir pesawat (apron), perkantoran, stasiun radar, fasilitas navigasi (DVOR/DME), stasiun pemadam kebakaran, dan pusat listrik juga sudah selesai.
Kendala utama justru pada aksesibilitas bandara. Pembebasan lahan untuk akses jalan dari dan menuju ke bandara belum tuntas. Pihak PT Angkasa Pura II memperkirakan masih 800 meter lahan mencakup 45 keluarga, belum dibebaskan.
Sudah masalah klasik, hampir setiap proyek infrastruktur di negeri ini terganjal masalah lahan. Tarik-menarik kepentingan tak terelakkan. Namun, jika masalah lahan dibiarkan berlarut-larut, investasi yang telanjur digelontorkan untuk proyek pembangunan ikut macet. Uang negara terkena imbasnya.
Sebagai catatan, pembangunan Bandara Internasional Kualanamu sejak tahun 2007 hingga Januari 2013 telah menyerap total anggaran Rp 4,7 triliun. Dari alokasi tersebut, dana Rp 3,4 triliun bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan dari PT Angkasa Pura II sebesar Rp 1,3 triliun.
Tengoklah akses kereta api Bandara Kualanamu yang kini sudah tuntas. Jalur tunggal sepanjang 29 kilometer itu siap dioperasikan. Sarana kereta api rute Medan-Bandara Kualanamu itu hanya menunggu atap stasiun. Operasional kereta jelas ikut tertunda jika bandara baru belum bisa berfungsi.
Sepanjang tahun 2012, Bandara Polonia, Medan, yang hanya memiliki kapasitas 900.000 penumpang per tahun terpaksa saat ini dijejali hingga mencapai 7,9 juta penumpang. Kapasitas itu jauh di bawah Bandara Kualanamu yang mampu menampung 8,1 juta penumpang per tahun.
Di tengah terus meningkatnya penumpang pesawat dan menurunnya daya dukung Bandara Polonia, dibutuhkan gerak cepat untuk segera mengoperasikan bandara baru. Pemerintah daerah perlu turun tangan mempercepat pembebasan lahan.
Sejumlah polemik masih muncul di kalangan penduduk sekitar Bandara Kualanamu yang terkena penggusuran lahan. Penduduk eks transmigrasi yang menetap sejak tahun 1961 merasa diabaikan oleh pemerintah. Mereka merasa tidak mendapat ganti rugi sesuai kesepakatan awal.
Ponirin (42), warga Dusun Dalu 10, Desa Telaga Sari, Kecamatan Tanjung Morawa, mengemukakan, awalnya pemerintah menjanjikan ganti rugi harga tanah senilai Rp 300.000 per meter persegi.
Namun, biaya ganti rugi lalu diturunkan menjadi Rp 75.000 per meter persegi, dan belakangan pemerintah tidak mau membayar ganti rugi karena lahan yang ditinggali masyarakat itu dinilai tanah berstatus hak guna usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara II.
Sejauh ini, ganti-rugi lahan sebesar Rp 300.000 per meter persegi hanya diberikan untuk warga yang telah memiliki sertifikat lahan. Sedangkan sebagian warga yang menetap puluhan tahun dengan mengantongi surat keterangan camat untuk kepemilikan lahan tidak memperoleh solusi.
Kemajuan penyelesaian proyek fisik bandara janganlah menjadi mundur karena masalah lahan yang berlarut-larut. Apalagi, Bandara Kualanamu ditargetkan menjadi gerbang masuk NKRI dan penghubung (hub) antarnegara. Kearifan pemerintah dibutuhkan untuk mengatasi polemik ini Sekaligus agar bandara yang sudah menelan biaya Rp 4,7 triliun ini bisa segera beroperasi.
Hingga pekan ini, penyelesaian fisik bandara sudah rampung 94,97 persen. Proyek sektor privat yang dibangun oleh pengelola bandara, PT Angkasa Pura II, masih dalam tahap penyelesaian, antara lain stasiun kereta api, gedung administrasi, perkantoran kargo, masjid, dan gedung peralatan (AME). Adapun terminal penumpang dan stasiun pengisian bahan bakar sudah tuntas.
Pembangunan sektor publik, seperti landasan pacu (runway), jalur parkir (taxiway), parkir pesawat (apron), perkantoran, stasiun radar, fasilitas navigasi (DVOR/DME), stasiun pemadam kebakaran, dan pusat listrik juga sudah selesai.
Kendala utama justru pada aksesibilitas bandara. Pembebasan lahan untuk akses jalan dari dan menuju ke bandara belum tuntas. Pihak PT Angkasa Pura II memperkirakan masih 800 meter lahan mencakup 45 keluarga, belum dibebaskan.
Sudah masalah klasik, hampir setiap proyek infrastruktur di negeri ini terganjal masalah lahan. Tarik-menarik kepentingan tak terelakkan. Namun, jika masalah lahan dibiarkan berlarut-larut, investasi yang telanjur digelontorkan untuk proyek pembangunan ikut macet. Uang negara terkena imbasnya.
Sebagai catatan, pembangunan Bandara Internasional Kualanamu sejak tahun 2007 hingga Januari 2013 telah menyerap total anggaran Rp 4,7 triliun. Dari alokasi tersebut, dana Rp 3,4 triliun bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan dari PT Angkasa Pura II sebesar Rp 1,3 triliun.
Tengoklah akses kereta api Bandara Kualanamu yang kini sudah tuntas. Jalur tunggal sepanjang 29 kilometer itu siap dioperasikan. Sarana kereta api rute Medan-Bandara Kualanamu itu hanya menunggu atap stasiun. Operasional kereta jelas ikut tertunda jika bandara baru belum bisa berfungsi.
Sepanjang tahun 2012, Bandara Polonia, Medan, yang hanya memiliki kapasitas 900.000 penumpang per tahun terpaksa saat ini dijejali hingga mencapai 7,9 juta penumpang. Kapasitas itu jauh di bawah Bandara Kualanamu yang mampu menampung 8,1 juta penumpang per tahun.
Di tengah terus meningkatnya penumpang pesawat dan menurunnya daya dukung Bandara Polonia, dibutuhkan gerak cepat untuk segera mengoperasikan bandara baru. Pemerintah daerah perlu turun tangan mempercepat pembebasan lahan.
Sejumlah polemik masih muncul di kalangan penduduk sekitar Bandara Kualanamu yang terkena penggusuran lahan. Penduduk eks transmigrasi yang menetap sejak tahun 1961 merasa diabaikan oleh pemerintah. Mereka merasa tidak mendapat ganti rugi sesuai kesepakatan awal.
Ponirin (42), warga Dusun Dalu 10, Desa Telaga Sari, Kecamatan Tanjung Morawa, mengemukakan, awalnya pemerintah menjanjikan ganti rugi harga tanah senilai Rp 300.000 per meter persegi.
Namun, biaya ganti rugi lalu diturunkan menjadi Rp 75.000 per meter persegi, dan belakangan pemerintah tidak mau membayar ganti rugi karena lahan yang ditinggali masyarakat itu dinilai tanah berstatus hak guna usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara II.
Sejauh ini, ganti-rugi lahan sebesar Rp 300.000 per meter persegi hanya diberikan untuk warga yang telah memiliki sertifikat lahan. Sedangkan sebagian warga yang menetap puluhan tahun dengan mengantongi surat keterangan camat untuk kepemilikan lahan tidak memperoleh solusi.
Kemajuan penyelesaian proyek fisik bandara janganlah menjadi mundur karena masalah lahan yang berlarut-larut. Apalagi, Bandara Kualanamu ditargetkan menjadi gerbang masuk NKRI dan penghubung (hub) antarnegara. Kearifan pemerintah dibutuhkan untuk mengatasi polemik ini Sekaligus agar bandara yang sudah menelan biaya Rp 4,7 triliun ini bisa segera beroperasi.
No comments:
Post a Comment