Ribuan penumpang di Hawaii hingga Thailand terlantar hari Jumat (17/2) setelah maskapai penerbangan bertarif rendah Air Australia menyatakan bangkrut. Maskapai yang berbasis di Brisbane tersebut melayani penerbangan internasional dan domestik. Maskapai yang dulunya bernama Strategic Airlines ini menyatakan semua penerbangan dibatalkan dan pemesanan tiket baru tidak akan dilayani karena perusahaan tidak mampu lagi membayar tagihan.
Air Australia kini berada di bawah proteksi kebangkrutan sehingga perusahaan memiliki waktu untuk membereskan masalah finansial. Pernyataan resmi maskapai berbunyi: "Tampaknya tidak ada dana lagi yang tersedia untuk memenuhi biaya operasional sehingga semua penerbangan ditangguhkan dengan segera." Penumpang yang membeli tiket dengan kartu kredit atau memiliki asuransi perjalanan akan dikembalikan dananya.
Ribuan penumpang terlantar Sekitar 4 ribu penumpang masih berada di luar negeri dengan menggunakan tiket pulang-pergi Air Australia. Kebanyakan dari mereka terlantar di Honolulu dan Phuket, Thailand. Para penumpang mengaku tidak mengetahui apa-apa. "Tidak ada orang dari Air Australia di bandara. Mereka tidak menawarkan bantuan apapun," keluh Wesa Chau yang menunggu penerbangannya di Phuket.
Belum lama ini seorang pramugari Air Australia asal Thailand mengeluhkan gaji yang jauh di bawah upah minimum Australia kepada Menteri Tenaga Kerja Australia Bill Shorten.
Administrator eksternal perusahaan, Mark Korda, mengungkapkan, "Dalam waktu semalam, Air Australia tidak mampu mengisi bahan bakar pesawat di Phuket. Penyuplai bahan bakar tidak mau lagi memberi pinjaman. Para direktur Air Australia menunjuk perusahaan kami KordaMentha pukul 1:30 dini hari, dan semalaman kami berupaya mengatasi situasi yang amat sulit."
Armada Air Australia termasuk 5 Airbus A330-200 dan A320-200 yang terbang secara reguler ke Bali, Phuket, Honolulu dan berbagai kota di Australia. Menurut Korda, pilihan terbaik bagi Air Australia adalah menjual perusahaan. Korda berharap segera menemukan investor yang bersedia menyelamatkan maskapai yang baru kembali beroperasi November lalu. "Semoga kami bisa mendapatkan ksatria putih alias penyelamat. Kalau tidak segala bentuk operasi akan tetap ditangguhkan. Kami akan menindaklanjuti semua pihak untuk mengetahui bagaimana semua ini bisa terjadi," jelas Korda.
Penerbangan alternatif Maskapai Australia lainnya, Qantas, serta anak perusahaannya yang bertarif rendah, Jetstar, tengah mempertimbangkan menambahkan layanan penerbangan bagi para penumpang Air Australia yang terlantar. Kedua maskapai tersebut akan menjual tiket dengan harga yang sama dengan jumlah yang para penumpang bayar untuk tiket Air Australia.
Padahal hari Kamis (16/2), Qantas baru saja merumahkan sedikitnya 500 pekerja, memangkas biaya dan menutup 2 rute internasional setelah mengalami penurunan laba sebesar 83 persen.
Perdana Menteri Australia Julia Gillard mendesak para administrator eksternal untuk berusaha sebisa mungkin membantu para penumpang dan staf Air Australia. "Mereka harus memastikan bahwa para penumpang bisa pulang. Saya menuntut bantuan semaksimal mungkin bagi warga Australia yang terlantar. Dan tentunya kami ingin melihat Air Australia memperlakukan para pekerja selayaknya," ujar Gillard.
Sumber: http://www.dw.de/dw/article/0,,15748747,00.html
Air Australia kini berada di bawah proteksi kebangkrutan sehingga perusahaan memiliki waktu untuk membereskan masalah finansial. Pernyataan resmi maskapai berbunyi: "Tampaknya tidak ada dana lagi yang tersedia untuk memenuhi biaya operasional sehingga semua penerbangan ditangguhkan dengan segera." Penumpang yang membeli tiket dengan kartu kredit atau memiliki asuransi perjalanan akan dikembalikan dananya.
Ribuan penumpang terlantar Sekitar 4 ribu penumpang masih berada di luar negeri dengan menggunakan tiket pulang-pergi Air Australia. Kebanyakan dari mereka terlantar di Honolulu dan Phuket, Thailand. Para penumpang mengaku tidak mengetahui apa-apa. "Tidak ada orang dari Air Australia di bandara. Mereka tidak menawarkan bantuan apapun," keluh Wesa Chau yang menunggu penerbangannya di Phuket.
Belum lama ini seorang pramugari Air Australia asal Thailand mengeluhkan gaji yang jauh di bawah upah minimum Australia kepada Menteri Tenaga Kerja Australia Bill Shorten.
Administrator eksternal perusahaan, Mark Korda, mengungkapkan, "Dalam waktu semalam, Air Australia tidak mampu mengisi bahan bakar pesawat di Phuket. Penyuplai bahan bakar tidak mau lagi memberi pinjaman. Para direktur Air Australia menunjuk perusahaan kami KordaMentha pukul 1:30 dini hari, dan semalaman kami berupaya mengatasi situasi yang amat sulit."
Armada Air Australia termasuk 5 Airbus A330-200 dan A320-200 yang terbang secara reguler ke Bali, Phuket, Honolulu dan berbagai kota di Australia. Menurut Korda, pilihan terbaik bagi Air Australia adalah menjual perusahaan. Korda berharap segera menemukan investor yang bersedia menyelamatkan maskapai yang baru kembali beroperasi November lalu. "Semoga kami bisa mendapatkan ksatria putih alias penyelamat. Kalau tidak segala bentuk operasi akan tetap ditangguhkan. Kami akan menindaklanjuti semua pihak untuk mengetahui bagaimana semua ini bisa terjadi," jelas Korda.
Penerbangan alternatif Maskapai Australia lainnya, Qantas, serta anak perusahaannya yang bertarif rendah, Jetstar, tengah mempertimbangkan menambahkan layanan penerbangan bagi para penumpang Air Australia yang terlantar. Kedua maskapai tersebut akan menjual tiket dengan harga yang sama dengan jumlah yang para penumpang bayar untuk tiket Air Australia.
Padahal hari Kamis (16/2), Qantas baru saja merumahkan sedikitnya 500 pekerja, memangkas biaya dan menutup 2 rute internasional setelah mengalami penurunan laba sebesar 83 persen.
Perdana Menteri Australia Julia Gillard mendesak para administrator eksternal untuk berusaha sebisa mungkin membantu para penumpang dan staf Air Australia. "Mereka harus memastikan bahwa para penumpang bisa pulang. Saya menuntut bantuan semaksimal mungkin bagi warga Australia yang terlantar. Dan tentunya kami ingin melihat Air Australia memperlakukan para pekerja selayaknya," ujar Gillard.
Sumber: http://www.dw.de/dw/article/0,,15748747,00.html
No comments:
Post a Comment